Wahju K Tumakaka, Pejabat Pengganti Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, mengatakan TIEA mengharuskan setiap negara untuk memberikan data yang diminta. Tidak bisa suatu negara berlindung di balik Undang-undang, kontrak, aturan perbankan, dan sebagainya.
"Jika ada negara yang tidak comply (patuh), maka akan dicap sebagai tax haven country atau negara yang menerapkan pajak rendah. Kalau sampai suatu negara dianggap sebagai tax haven country, maka rating (peringkat) akan turun," papar Wahju kepada detikFinance, Minggu (14/12/2014).
TIEA, lanjut Wahju, tidak hanya berfungsi untuk pertukaran data-data seputar perpajakan. Kesepakatan ini juga bisa mengungkap data-data soal investasi dan keuangan.
"Misalnya kalau saya menyimpan uang di Singapura, di bawah TIEA pemerintah Singapura harus memberikan informasi ke pemerintah Indonesia ketika diminta. Dulu, informasi ini hanya boleh dibuka untuk penyelidikan. Namun sekarang bisa kapan saja jika ada permintaan," jelas Wahju.
Oleh karena itu, tambah Wahju, TIEA bisa membongkar mitos mengenai orang Indonesia yang menyimpan uang di Singapura dan selama ini tertutup. "Dengan TIEA, maka tidak akan tertutup lagi," tegasnya.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Budi G Sadikin mengatakan bahwa uang orang kaya Indonesia di Singapura mencapai Rp 4.000 triliun. Jika uang ini bisa berada di Indonesia, maka akan menjadi modal pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, jalan tol, rel kereta api, irigasi, pembangkit listrik, hingga kilang minyak.
"Uang orang kaya Indonesia di Singapura sebesar Rp 4.000 triliun bisa kita bawa balik. Bisa ke pasar obligasi. Mandiri bisa bantu dengan refinancing hingga 5 tahun depan," kata Budi.
(hds/hds)
