Picu Harga Bawang Putih Melonjak, Aturan Rekomendasi Impor Dikritik Pengusaha

Jakarta - Kebijakan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) oleh Kementerian Pertanian (Kementan) dikritik oleh Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI).

Sekjen GAPMMI Franky Sibarani mengatakan, pemerintah perlu mereview kembali aturan RIPH tersebut. Pasalnya, pengaturan soal RIPH hanya tepat dilakukan jika produksi hortikultura dalam negeri sudah mencukupi sekitar 50%.


"RIPH ini efektif atau tidak, jika produksi rendah. Kalau misalkan bawang hasilnya rendah di dalam negeri, maka tidak efektif diterapkan. Kalau sudah bisa mencukupi 50% silakan diterapkan," kata Franky saat dihubungi detikFinance, di Jakarta, Jumat (15/3/13).


Dia menyebutkan, saat ini, Indonesia hanya mampu menghasilkan bawang putih sebesar 5% saja, sementara 95% nya diperoleh dari impor. Hal itulah yang menurutnya tidak efektif jika RIPH itu diberlakukan untuk semua produk. Berbeda dengan daging yang yang impornya hanya 60%.


"Ini bisa diatur, kalau di bawah 40% perlu ditinjau lagi. Adanya RIPH itu baik sejauh peraturannya pengaruhnya besar terhadap industri. RIPH harus mengacu ke komoditi tertentu terkait supply and demand. Ini harus seimbang," jelasnya.


Franky menambahkan, melonjaknya harga bawang ini sangat mengganggu industri pangan dan konsumen karena bawang digunakan sebagai salah satu bumbu penyedap yang banyak dibutuhkan masyarakat.


Angka itu, secara pasar supply dalam negeri masih sangat kecil terhadap pemenuhan kebutuhan dalam negeri. "Jadi tidak perlu diatur seperti saat ini. Adanya RIPH ini tidak tepat. Kalau produknya ada diatur setuju sehingga memberikan keseimbangan. Ini petani yang dikorbankan, industri dan konsumen juga," kata Franky.


Tahun 2012 saja, dia menyebutkan, angka impor bawang putih Indonesia mencapai US$ 280 juta, jauh lebih tinggi dari angka impor di tahun 2010 yang hanya US$ 240 juta.


"Artinya kita harus melihat fakta hubungan produksi dan demand, ini harus seimbang. Kementan fokus saja ke produksi jangan ke perdagangan. Kementan terlalu ikut campur tangan terhadap perdagangan. Presiden marah pun betul karena Kementan tidak fokus memikirkan produksi. Kita menunggu kebijakan dari pemerintah," cetusnya.


(hen/hen)