"Begini, kita tidak bisa lepas dari kultur atau budaya. Peternak kita tidak bisa disamakan dengan peternak di Australia, AS, atau Brasil. Mereka memang basisnya bisnis dan dikelola secara bisnis, sapinya banyak dan saat dewasa yang paling bagus dijual. Sementara peternak lokal kita karena tidak berbasis bisnis jadi banyak terpengaruh sosial," papar Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan saat ditemui detikFinance di kantornya, Ragunan, Jakarta, Rabu (13/3/2013).
Dicontohkan Rusman, sampai sekarang di Jawa status sosial masyarakat ada yang ditentukan dari banyaknya sapi yang dimiliki di kandang. "Jadi selama tidak butuh duit, mereka tidak mau jual. Sehingga para belantik (pedagang sapi) kesulitan mencari sapi, apalagi harga sapi tinggi dia belum tentu dapat sapi. Ada peternak lokal punya banyak sapi, tapi belum tentu sapinya dia jual, padahal umurnya sudah semakin tua dan dagingnya tidak bagus lagi," jelas Rusman.
Menurut Rusman, data sensus sapi Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan Indonesia memiliki populasi 14,8 juta ekor sapi adalah data yang benar. Namun diakui Rusman yang saat sensus dilakukan menjabat Kepala BPS, perhitungan sensus tersebut memang tidak memperhitungkan adanya distorsi berupa status sosial di Jawa dan juga sistem logistik yang masih belum bagus.
"Sapi kita ada dan banyak, beberapa hari lalu saya mengunjungi RPH-RPH (rumah potong hewan) di Jawa Tengah, di Semarang dan Salatiga. Lalu para belantik mengatakan sapi banyak tapi tidak ada yang mau jual, jadi untung-untungan saja. Jadi kenyataan di lapangan berbeda, peternak tidak mengelola dalam bentuk bisnis. Oleh sebab itu ada gagasan, sapi potong itu di-farming sehingga ada nuansa bisnis. Sehingga nanti persoalan pakan atau doktor hewan dikelola menjadi satu. Kalau ini berjalan, mereka tetap memelihara sapi dalam manajemen yang sama, sehingga ada suplai yang terukur," papar Rusman.
Sekarang, ujar Rusman, banyak sentra dan kantong-kantong sapi yang sebenarnya menyatu di sebuah kawasan. Namun meskipun dalam sentra yang sama, para peternak berbisnis sendiri-sendiri dan bahkan bersaing satu sama lain. "Mungkin bisa dengan pendekatan koperasi dikelola bersama-sama," imbuh Rusman.
"Ini (sistem farming) telah dicontohkan di Palembang dan Jawa Tengah. Jadi ini pilot project dulu, karena harus ada kampanye. Karena peternak kita konservatif dan tidak mudah menghadapi perubahan yang ada," tukas Rusman.
(dnl/hen)
