Namun bagi kubu calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 Jokowi-JK, hal tersebut bukanlah bom waktu, tetapi lebih karena buruknya manajemen anggaran di pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Kami menganggap itu bukan bom waktu, bukan ancaman bagi APBN, tetapi warisan dari sebuah manajemen anggaran yang buruk dari pemerintahan SBY," ujar Tim Sukses Jokowi-JK Arif Budimanta, ditemui di Jokowi-JK Center, Setia Budi, Jakarta, Selasa (24/6/2014).
Arif mengungkapkan, peningkatan belanja pegawai yang dianggap besar tersebut sejatinya untuk meningkatkan pelayanan PNS kepada masyarakat.
"Di zaman SBY, kenaikan (gaji) ini besar tapi standar pelayanan minimum, stategi Jokowi-JK belanja pegawai walau besar tapi standar pelayanannya harus prima," kata Arif.
Ia mencontohkan, standar pelayanan prima yang harus ditunjukkan para PNS ini seperti dalam hal lebih cepatnya pembuatan KTP dan surat administrasi lainnya, cepatnya pembuatan izin dan lainnya.
"Itu lebih efektif dan masyarakat akan merasakan manfaatnya, jadi itu satu, bukan bom waktu, tapi lebih karena buruknya manajemen anggaran. PNS kita juga saat ini boros kertas, boros perjalanan dinas yang tidak penting, rapat yang seharusnya bisa di kantor malah di hotel atau di luar, sehingga tidak efektif," jelasnya.
Terkait anggaran subsidi BBM yang membengkak Rp 400 triliun lebih, bagi kubu Jokowi-JK, hal tersebut lebih karena pemerintah sendiri tidak melakukan upaya pengawasan dan penekanan konsumsi BBM yang maksimal.
"Contohnya sekarang awalnya jatah BBM subsidi ditetapkan 48 juta kilo liter (KL), sekarang mampu ditekan jadi 46 juta KL karena melakukan penghematan dan peningkatan pengawasan, kenapa baru sekarang dilakukan? Kenapa tidak dari dulu-dulu," tutupnya.
(rrd/dnl)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!