HKTI: Revolusi Mental Jokowi-JK Tepat untuk Pertanian

Jakarta -Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sutrisno Iwantono berpendapat, gagasan revolusi mental yang disampaikan pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla sangat relevan untuk mendukung sektor pertanian. Ini karena sebagian besar petani masih kurang dalam pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).

“Revolusi mental intinya adalah melakukan perubahan secara revolusioner terhadap perilaku manusia. Di sektor pertanian masalah utama memang SDM kita kurang dalam hal pendidikan, keterampilan, dan kreativitas,” kata pria yang akrab disapa Iwan ini dalam siaran tertulis yang diterima detikFinance di Jakarta, Jumat (27/6/2014).


Iwan menambahkan, Indonesia saat ini bisa dikatakan tengah kekurangan produksi pangan sehingga impor terus naik. Kesejahteraan petani pun tertinggal dibandingkan pekerja di sektor lain seperti industri dan jasa.


Tahun lalu misalnya, impor pangan periode Januari-Oktober mencapai US$ 7,73 miliar. Produk pangan impor yang utama antara lain beras, terigu, kedelai, kacang hijau, jagung, daging, ikan, buah-buahan, bawang, cabai, singkong, sampai garam.


Menurut Iwan, kecuali untuk gandum, seharusnya produk-produk pangan tersebut bisa diproduksi di dalam negeri. Namun, ini bisa terwujud apabila ada pembehanan dari hal yang mendasar yaitu SDM.


“Latar belakang pendidikan petani kita kebanyakan masih SD dan SMP. Begitu anak petani pendidikannya lebih tinggi maka cenderung bekerja di luar sektor pertanian, karena bekerja di sektor pertanian dinilai tidak membawa kesejahteraan,” ungkapnya.


HKTI, lanjut Iwan, sangat mendukung apabila kelak presiden dan wakil presiden terpilih akan memperkuat sektor pertanian mulai dari SDM-nya melalui pendidikan keterampilan, penyuluhan, serta kewirausahaan yang berorientasi pasar, sehingga petani mampu mencapai kondisi surplus.


“Petani harus surplus agar bisa punya tabungan sehingga dapat belanja teknologi, beli bibit unggul, serta mampu menyekolahkan anaknya lebih baik,” tegasnya.


Selama petani belum surplus dari usaha pertaniannya, tutur Presiden Kelompok Kerjasama Petani Asia tersebut, maka petani tidak akan termotivasi untuk menghasilkan bahan-bahan pangan lebih banyak. Konsekuensinya, produksi pangan kurang dan Indonesia akan terus menambah impor seiring jumlah penduduk yang bertambah.


Di sisi lain, ketika impor pangan terus meningkat maka pengeluaran devisa akan semakin besar dan defisit transaksi berjalan Indonesia juga akan semakin membengkak. “Sebagai catatan, dua tahun terakhir yaitu 2012 dan 2013 Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan yang disebabkan makin besarnya impor BBM (bahan bakar minyak) dan bahan pangan," ucap Iwan.


(hds/hen)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!