Agustinus Prasetyantoko, Pengamat ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta, mengatakan pemerintah akan sangat terbebani dengan pelemahan nilai tukar rupiah ini. "Akan sangat berat buat pemerintah, karena impor BBM (bahan bakar minyak) masih tinggi," kata pria yang akrab disapa Pras ini kepada detikFinance di Jakarta, Rabu (25/6/2014).
Kondisi ini, lanjut Pras, akan membuat anggaran subsidi energi (BBM dan listrik) semakin membengkak. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2014, subsidi energi mendapat anggaran Rp 350,3 triliun. Naik dibandingkan APBN 2014 yang sebesar Rp 282,1 triliun.
"Kalau nilai tukar rupiah konsisten seperti ini terus, yaitu di kisaran Rp 12.000 per dolar AS, subsidi BBM akan lebih membengkak lagi. Ini juga yang dilihat sebagai faktor risiko oleh investor," tegas Pras.
Sampai saat ini, menurut Pras, belum ada program yang jelas untuk mengurangi subsidi BBM. Bahkan para calon pemimpin, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, belum secara tegas menyebutkan langkah untuk menekan anggaran ini. "Belum ada langkah phasing out yang jelas," ujarnya.
Selain anggaran subsidi, tambah Pras, impor BBM yang tinggi juga akan menyebabkan neraca perdagangan semakin terbebani. Padahal pada April lalu, neraca perdagangan mencatat defisit yang mencapai US$ 1,96 miliar.
"Ditambah dengan inflasi yang diperkirakan mulai naik jelang Ramadhan, potensi membengkaknya defisit neraca perdagangan tentu menjadi sentimen negatif bagi investor," kata Pras.
(hds/hen)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!