Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Sumiran kepada detikFinance menerangkan, meskipun pihaknya berkomitmen untuk mendukung aturan ini, tetapi untuk beberapa wilayah hal tersebut belum bisa diterapkan. Alasannya, adalah butuh waktu untuk mendistribusikan rokok dengan kemasan yang telah dilengkapi dengan gambar seram dari pabrik hingga ke tingkat pengecer di daerah.
"Kita butuh waktu karena untuk distribusi tidak sebentar. Misalnya ada pabrik kita di pulau Jawa harus kirim ke Papua. Butuh waktu 1-6 bulan. Jadi kami harap itu bisa dimengerti," kata Ismanu, Selasa (24/6/2014).
Alasan keterlambatan lainnya, lanjut Ismanu, adalah untuk pabrik rokok skala kecil dengan modal minim, mengubah desain kemasan tidak semudah industri rokok besar. Perlu biaya dan waktu yang lebih lama.
"Pelaku industri ini kan tidak semuanya skala besar. Banyak yang kecil-kecil. Yang kecil-kecil ini tidak gampang kalau mau ubah desain kemasan. Butuh biaya dan butuh waktu," tuturnya.
Untuk itu, Ismanu mengharapkan pengertian dari pemangku kebijakan agar dalam rangka penerapannya nanti faktor-faktor tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan. "Kalau ada aturan yang bilang rokok tanpa gambar peringatan itu harus dilaporkan ke BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan), ya tidak apa-apa. Memang tugasnya BPOM memang seperti itu, pengawasan dan kontrol. Tapi tolong faktor-faktor itu dijadikan pertimbangan," tegas dia.
Pemerintah memberikan imbauan bagi masyarakat yang masih menemukan rokok tanpa gambar seram untuk melaporkannya ke BPOM. Lembaga ini sendiri telah membuka layanan hotline di nomor 500-533 untuk menerima laporan dari masyarakat terkait temuan produk rokok tanpa gambar peringatan di kemasannya. Selain itu, keluhan juga bisa disampaikan melalui pesan singkat atau SMS ke nomor 08121999533 maupun email ke halobpom@pom.go.id.
(hds/hds)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!
