Pengamat Ekonomi: Jokowi Jual BBM Murah, Ekonomi RI Bisa Bahaya

Jakarta -Turunnya harga minyak dunia di bawah US$ 60 per barel berdampak pada turunnya harga BBM di Indonesia. Premium RON 88 ditetapkan Rp 6.600/liter dan solar Rp 6.400/liter oleh pemerintah Joko Widodo (Jokowi). Murahnya harga BBM dianggap berbahaya bagi perekonomian Indonesia. Kenapa?

"Turunnya harga minyak dunia ini berdampak pada anjloknya pendapatan minyak dan gas bumi bagi negara. Untuk mengejar pendapatan negara terpaksa pendapatan pajak digenjot, ini justru yang bahaya karena justru pemerintah menurunkan harga BBM,," ujar Ekonom INDEF Aviliani, di acara diskusi Mengawal Nawacita: Analisis Kritis Terhadap APBN 2015, di Kantor INDEF, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (24/2/2015).


Aviliani mengatakan, dengan harga jual BBM diturunkan, konsumsi BBM justru meningkat, sehingga impor minyak makin tinggi. Seperti diketahui selama ini, impor minyak menjadi momok dari defisitnya neraca perdagangan nasional.


"Harga BBM memang turun, subsidi memang turun, tapi apakah konsumsinya turun? Tidak, justru karena murah konsumsinya tinggi, sementara impor minyak kita makin tinggi," katanya.


Kondisi lainnya, turunnya harga minyak, juga mendorong penurunan harga pada komoditas lainnya juga turun seperti CPO (Crude Palm Oil) dan batu bara. Padahal ekspor komoditas merupakan salah satu andalan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara.


"Pemerintah memang harus pintar-pintar mencari pendapatan negara di sektor pajak, karena andalan pemerintah selama ini dari Migas dan komoditas harganya turun signifikan tahun ini," katanya.


Ditambahkan Peneliti INDEF Nailul Huda, pengoptimalan penerimaan pajak masih banyak kendala sampai dengan hari ini.


Dua hambatan utama yang dari dulu menjadi masalah di sektor pajak belum teratasi, yakni basis data pajak yang masih tergantung pusat, padahal daerah yang harusnya mengetahui potensi pajak di daerahnya. Kedua, belum terintegrasinya KTP dengan data kependudukan, sehingga tidak dapat mengoptimalkan pendapatan pajak di Indoensia.


"Saat ini saja, pegawai pajak kita hanya 317.000, bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta, artinya satu pegawai pajak harus mengawasi pajaknya 7.468 jiwa, smentara di Malaysia saja ada 102.000 pegawai pajak, tapi penduduknya hanya 29,2 juta sehingga rasionya hanya 1: 2.860 jiwa," tutupnya.


(rrd/dnl)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com

Informasi pemasangan iklan

hubungi : sales[at]detik.com