Kisah Hatta dari Laskar Pelangi, Pengusaha Pengeboran Minyak Hingga Menteri

Jakarta - Menko Perekonomian Hatta Rajasa bercerita panjang lebar soal kesuksesannya sebagai seorang yang dahulu berlatar belakang keluarga sederhana kini sukses sebagai pengusaha dan menteri.

Hatta termasuk segelintir orang Indonesia yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi meski punya keluarga besar.


Hatta bercerita soal film Laskar Pelangi yang berkisah soal sekumpulan anak-anak sekolah di Belitung. Menurut Hatta ada sosok Lintang, anak yang sangat cerdas namun karena ayahnya meninggal sehingga terpaksa melindungi adik-adiknya untuk membiayai hidup dengan mengorbankan masa depannya hingga putus sekolah. Menurut Hatta sosok Lintang seharusnya bisa menjadi bupati menteri atau presiden jika tetap bersekolah.


"Lintang ini banyak ribuan di negara kita, yang terpaksa berhenti menjadi tulang punggung keluarga yang usianya sangat muda untuk membiayai kehidupan," kata Hatta saat program pasar Murah di Pendopo Bupati Pandeglang, Benten, Minggu (28/7/2013).


Hatta bercerita bahwa ibu dan ayahnya seorang pegawai negeri. Ia berlatar belakang keluarga besar dengan 12 bersaudara. "Ibu saya mendidik anak-anaknya dengan tangan sendiri tanpa pembantu, saya putra nomor 2 berarti adik saya ada 10," kenang Hatta.


Sebagai salah satu anak tertua, ia punya tanggung jawab membantu mengasuh adik-adiknya misalnya menggendong adik-adiknya dan membuatkan susu. Bahkan politisi PAN ini bercerita karena harga susu mahal, ia tak jarang harus memakai air tajin (perasan beras) sebagai pengganti susu.


"Ayah saya pensiun tidak sejengkal tanah dan rumah pun diwariskan tetapi 12 anaknya selesai sekolah semua. Ketika saya selesai sekolah ibu saya bilang nak kamu diterima di ITB padahal ibu saya pengen saya jadi dokter. Karena ada 12 ada aja yang sakit tapi sakitnya orang kampung diare atau apalah," kenang Hatta.


Bermodal kalung logam mulia dari ibunya ia kuliah meninggal kampung halamannya di Palembang ke Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat. Pengorbanan orang tuanya tersebut membuat dirinya termotivasi agar tak gagal di perantauan.


"Singkat kata cita-cita saya bukan jadi menteri cita-cita ingin menyenangkan hati ibu saya dan orang kampung saya yang ingin saya ceritakan bukan episode itu tapi kewirausahaan," katanya.


Hatta yang masuk ITB sebagai angkatan 1973, setelah lulus kuliah ia memulai usaha kecil-kecilan bersama 4 kawannya. Ia membentuk CV dengan modal Rp 12.500, karena belum ada karyawan semua tugas dirangkap mulai manajer hingga dirut oleh dirinya.


"Mulai kami menyisihkan uang dan berangkat ke Jakarta ada nggak pekerjaan buat kami dan hampir putus asa tapi kalau kami putus asa dan berhenti maka berhentilah cita-cita saya. Dari 3-4 minggu akhirnya saya ke sahabat alumni minta pekerjaan. Kemudian dikasihlah pekerjaan untuk me-resume. Dibayar me-resume data di perusahaan minyak dibayar 21 ribu dolar saya mau pingsan saat itu bisa untuk segala macam," katanya.


Singkat cerita, Hatta sempat ditawari untuk membeli alat pengebor sendiri yang harganya US$ 6 juta. Ia mengaku sempat putus asa, namun kalau waktu itu ia pasrah maka ceritanya akan berkata lain.


"Saya akhirnya meminjam uang untuk itu. Singkat kata Pengebor pertama tahun 1980-an orang Indonesia adalah kami. Tidak ada seorang pengusaha yang tidak mengambil risiko seorang pengusaha harus berani mengambill risiko. Utang US$ 6 juta itu kurang dari 2 tahun lunas mulanya kan dari pinjaman uang," katanya.


Ia menegaskan tidak ada keberhasilan tanpa kerja keras dan kerja ikhlas, terutama bagi seorang wirausahawan. "Ketika saya masuk politik 1998 tidak lagi saya jadi wirausahawan, tidak mungkin mencampuradukan sampai akhirnya saya menjadi menteri," katanya.


(hen/hen)