"Memang (wajar) karena investasinya US$ 1 miliar sampai US$ 2 miliar bukan hal yang mudah," kata Hidayat di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (23/4/2014)
Awalnya pengenaan BK dilakukan secara progresif dari 20%-60% sampai dengan tahun 2017. Sebagai disinsentif kepada perusahaan yang tak melakukan pemurnian hasil tambang. Namun itu akan dilonggarkan seiring dengan tahapan pembangunan smelter.
Hidayat menyatakan, BK bukan untuk peningkatan pendapatan negara. Melainkan adalah upaya untuk memaksa dan menekan perusahaan tambang membangun smelter. Sehingga harusnya ada pelonggaran BK.
"BK untuk memaksa orang yang mau ekspor supaya kapok, supaya apa itu tidak lagi mengekspor mineral makanya dikasih bea keluar tinggi
begitu dia semelternya terbangun, maka bea keluar tentunya bisa dihapus atau direvisi secara bertahap, itu menurut saya filosofinya," paparnya.
Proses kajian pelonggaran BK masih dibahas oleh Kementerian Keuangan. Bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kemenko Perekonomian. Aturan ini akan ditelurkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang keluar dalam waktu dekat.
"Saya hanya ditugasi untuk membuat speknya. Untuk industrinya tapi kalau kebijakan bea keluar dan mineralnya sendiri itu bukan di Kemenperin," sebutnya.Next
(mkl/dnl)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!