Di Era Robotik, Manusia Tetap Nomor Satu Di Pabrik Kloset

Jakarta - Annie Shannon memukul-mukul kloset keramik yang baru dipanggang, dengan sebuah palu kayu. “Suaranya harus seperti lonceng,” kata Shannon, yang sudah bekerja di pabrik toilet Mansfield Plumbing, di Perrysville, Ohio, Amerika Serikat selama 15 tahun.

“Kalau suaranya datar, berarti ada retakan setipis rambut di porselein,” kata Shannon lagi, sambil tertawa. Rekan Shannon kemudian memasukkan busa ke dalam kloset itu, lalu memencet alat penyiram.


Dalam beberapa jenis pekerjaan di pabrik toilet, tenaga manusia belum bisa digantikan mesin. Ini berbeda dengan tren yang sedang terjadi dalam industri manufaktur di Amerika Serikat. Banyak perusahaan yang telah mengoptimalisasi penggunaan mesin atau robot ketimbang manusia.


Contohnya di perusahaan tekstil. Alih-alih mempekerjakan lebih banyak orang, perusahaan-perusahaan tekstil di sana memperbarui produksi tekstilnya dengan bantuan mesin dan sedikit tenaga manusia. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Produksi Lebih Banyak, Pekerja Lebih Sedikit”.


Sebaliknya di perusahaan toilet, lebih banyak dibutuhkan tenaga manual. Soalnya pembuatan kloset itu seperti seperti pembuatan keramik. Tenaga manusia dipakai untuk mengangkat kloset dan produk toilet lainnya atau sentuhan tangan untuk merasakan permukaan sudah mulus atau belum.


“Anda membutuhkan kekuatan seorang pemain football dan tangan seorang pemahat,” kata Morando, Presiden di Mansfield, sambil memperhatikan sejumlah pekerja dengan kaus yang memperlihatkan otot-ototnya, sedang memanggang porselein siang itu.


Supaya ongkos produksi bisa ditekan, Mansfield bukannya mengurangi tenaga manusia di bagian produksi, melainkan mengotomatisasi proses administasi, misalnya pengambilan order dan mengurangi penyimpanan stok. Next


(DES/DES)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!