Ini Perbedaan Kondisi Utang Luar Negeri Swasta Kini dengan Krisis 1998

Jakarta - Saat terjadi krisis 1998 lalu, utang luar negeri swasta menjadi salah satu penyebab utamanya. Keberadaan utang swasta yang tinggi dinilai ikut merobohkan ekonomi Indonesia pada waktu itu.

Direktur Eksekutif Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI) Dody B Waluyo mengatakan kelemahan Indonesia saat krisis 1998 adalah tidak adanya kewajiban pelaporan lalu lintas devisa dari perusahaan swasta. Sehingga, pemerintah maupun BI menilai situasi pada saat sebelum krisis cukup aman.


"Dari sisi statistik utang kita itu lemah karena pada saat itu kewajiban pelaporan lalu lintas devisa belum ada, sehingga bisa saja pada saat itu statistiknya utang luar negeri kita rendah artinya kita anggap aman," ujar Dody di Gedung BI, Jakarta, Selasa (24/9/2013)


Namun, ketika terjadi krisis tahun 1998, baru diketahui utang luar negeri perusahaan swasta cukup tinggi. Sehingga makin memberatkan perekonomian Indonesia kala itu.


"Kemudian terjadi krisis tiba-tiba kita tahu bahwa utang luar negeri swasta kita meningkat, tapi bukan meningkat tapi benar-benar nggak ke cover. Ada pencatatannya tapi nggak sebagus sekarang, pencatatan hanya yang bank, yang di korporasi itu tidak," paparnya.


Jika dibandingkan saat ini, Dody menilai tentu sudah banyak perubahan. Terutama dari segi data statistik utang. BI dapat memantau dengan lebih tepat jika ada gejolak-gejolak perekonomian.


"Jadi kita dari segi akurasi statistiknya sekarang jauh lebih baik. Kemudian dari sisi kewajiban, sekarang ini ada kewajiban bahwa bank itu dibatasi peminjaman utang luar negeri-nya sebesar 30% dari modalnya dia, jadi relatif terjaga dari pada yang lalu," pungkasnya.


(mkl/hen)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!