'Kebijakan Pembatasan Impor Pangan, Seolah-olah Kita yang Salah'

Jakarta - Informasi soal maraknya impor produk pertanian termasuk pangan sudah biasa. Namun kali ini justru sebaliknya, banyak pemberitaan bermunculan soal pembatasan impor produk pangan seperti hortikultura (sayur dan buah) hingga daging.

Pembatasan ini secara langsung membuat reaksi para negara pengekspor hortikultura termasuk eksportir daging di luar negeri. Bahkan para importir yang selama ini menikmatinya gurih bisnis ini cukup terusik.


Bagaimana penjelasan pemerintah soal ini, termasuk tugas pemerintah dalam mengatasi masalah pangan dan pertanian? Berikut ini wawancara detikFinance dengan Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan di kantornya beberapa waktu lalu.


Sebenarnya tugas Kementan apa sih, kenyataannya saat ini banyak pangan kita impor, apa saja yang dilakukan selama ini?


Tugas kementerian pertanian adalah bagaimana membangun pertanian ini dengan cepat,bagaimana target-target yang telah ditentukan. Kalau di tanaman pangan target kita kan pencapaian swasembada berkelanjutan paling tidak untuk lima komoditas yang sudah masuk roadmap kita.


Pertama Beras, jagung, kedelai, daging sapi, terakhir itu gula kristal putih. Dari kelima ini dari posisinya yang sekarang, yang warnanya merah atau rasanya berat adalah kedelai.


Kita itu produksi tahun 2012 saja 850.000 ton tidak mencapai 1 juta ton, sedangkan kebutuhannya 2,2-2,4 juta ton sehingga produksi kedelai dalam negeri hanya memenuhi 35% yang 65% dipenuhi dari kedelai impor, jadi kalau kita makan tahu tempe konsumen terbesar kedelai adalah perajin tahu tempe, nah kemungkinan yang kita makan itu kedelai impor karena 65% impor.


Tahun 2013, dari hiruk pikuk tahun lalu hingga ada pemogokan ini menjadi prioritas tahun ini dengan target kita bisa mencapai 1,5 juta ton-lah, atau dua kali lipat dari capaian 2012.


Apa yang dilakukan?


Pertama melakukan intensifikasi melalui benih unggul, pemupukan, paling penting adalah perluasan lahan kedelai yang ideal, ada tambahan 500.000 hektar lahan kedelai tapi ini juga bukan perkara yang mudah, situasi ancaman seperti konversi lahan di Jawa. Selama ini memang kedelai ditanam secara bergantian pada lahan yang sama pilihannya padi, jagung, dan kedelai.


Kalau beras alhamdulilah, tahun 2012 kita mencapai tertinggi selama republik ini mendekati 70 juta ton gabah kering giling (GKG) setara 34 juta ton setara beras. Kalau beras sebenarnya kita sudah menyentuh swasembada lah. Impor pun itu karena Bulog sebagai pemegang otoritas beras tahun kemarin tak melakukan itu, tahun ini kita arahkan karena produksi bagus, paling tidak kita mencapai 3,5% lah mencapai 72 juta ton GKG. Kalau itu terjadi harapannya Bulog tak perlu melakukan lagi impor beras.


Kemarin capaian 2012 bukan angka yang berdiri sendiri, Bulog mampu menyerap beras petani sampai 3,64 juta ton itu prestasi, sebelumnya 3,5 juta ton tahun 2009. Nah kalau beras rasanya aman, kalau pun orang menduga masih ada kok impor beras, harus dilihat bahwa memang masih ada impor, yaitu beras-beras jenis tertentu masih kita impor, pertama beras ketan, ini karena semua lahan pertanian dikonsentrasikan untuk lahan beras umum, akibatnya beras ketan tak banyak diproduksi akibatnya kita impor banyak dari Thailand dan Vietnam.


Kedua adalah beras khusus yang punya spesifikasi khusus terutama beras Jepang misalnya untuk restoran Jepang dan kelas tinggi. Ketiga banyak juga yang dipakai untuk industri makanan dan minuman yaitu beras menir atau broken rice, karena kenapa diimpor itu memudahkan untuk mengolahnya. Kita tak menafikan kalau impor beras itu tidak ada sama sekali,


Untuk jagung posisinya seperti beras ya, sudah swasembada, di jagung ini yang harus kita perbaiki adalah distribusinya sentra di jagungnya di mana dan konsumennya di mana, tempatnya berbeda. Jagung ini jangan lupa konsentrasi konsumennya itu ada di pakan untuk pakan unggas, memang masih adalah impor itu karena tak lancarnya sistem logistik, lebih distorsi pada capaian produksinya.


Untuk gula pasir tahun ini sudah berani mengatakan dengan berbagai program kita seperti Bongkar Ratun, gerakan untuk membongkar tanaman tebu lama dengan varietas yang lebih baik biasanya petani kalau tak digerakan begitu sudah pasrah saja dengan tanaman yang lama yang produktivitasnya sampai 2-3 musim tapi kualitasnya semakin berkurang.


Kita bisa mengatakan untuk gula Kristal putih kita tak impor lagilah, tapi jumlahnya cukup banyak 2,6 juta ton, tapi untuk gula rafinasi kita 100% kita harus impor untuk dipakai industri makanan. Untuk gula katagori swasembada kalau kita bisa memenuhi kebutuhan langsung konsumsi gula rumah tangga.


Banyak yang mempertanyakan pemangkasan kuota impor daging sapi, karena harga daging jadi mahal, apa keuntungannya bagi Kementan?


Soal daging sapi ini yang paling ramai, kalau kita lihat kecenderunganya ini bukan kita belain kebijakan kita ya, tapi memang kecenderungannya itu selalu impor ada dua tren ini positif.


Pertama adalah mengurangi impor membatasi impor dengan harapan membangkitkan peternak lokal untuk menghasilkan meningkatkan stok sapi dan menyediakan stok daging, secara keseluruhan impor itu kita turunkan. Tahun 2010 bayangkan impor kita itu 53%, produksi lokal cuma 47%, jadi orang bertanya dari 53% berani-beraninya menurunkan 2013 sekarang tinggal 14,5% (total impor terhadap kebutuhan).


Bisa jadi pada 2010 lalu ketika 53% itu terlalu berlebihan impor kita, perlu dipahami semua kebijakan impor itu seharusnya jangan dikaitkan dengan praktik-praktik yang ada moral hazard-nya. Secara keseluruhan semangat kita adalah apapun produknya seperti daging dan hortikultura, jangan dianggap suatu kebijakan yang berdiri sendiri.


Dia harus selalu dikaitkan dengan upaya kita mendorong produksi lokal, apapun yang kita impor tak boleh berdiri sendiri, kalau impor dianggap sebagai kebijakan berdiri sendiri, bahayanya nanti di dalam mindset importir pokoknya pikirannya impor saja. Jadi dia tak ada pikiran lain bagaimana kita bisa juga kita bisa melakukan ekspor.


Ini kecenderungan sekarang banyak importir yang pikirannya cuma impor ketika kita batasi impor daging mereka beralasan ruang pendinginnya sudah besar, lalu para feedloter mereka anggap itu akan jadi pengangguran.


Ini yang salah persepsi kebijakan impor, seolah-olah kita menjadi salah, membatasi impor menjadi salah karena investasinya jadi under utilitas ini membunuh importir. Sebenarnya di lain pihak sekarang begitu bergairahnya peternak lokal kita untuk bangkit lagi.


Contoh dalam kebijakan pengembangan pembudidayaan sapi lokal, dulu para peternak lokal karena tak banyak harapan terhadap prospek dia, akhirnya pengembangan sapi dilakukan dengan kawin alam, suka suka saja, kalau sekarang peternak bergairah sekali dengan inseminasi buatan dengan cara disuntik jadi produksi mani sapi yang dibekukan produksinya luar biasa sampai jutaan, hasilnya banyak sekali sudah berapa kali melakukan peluncuran anak-anak sapi hasil inseminasi buatan.


Kedua masalah distribusi, contoh sentra produksi paling besar untuk sapi adalah Jawa Timur, di NTT dan NTB, tapi sentra konsumennya ada di Jakarta dan sekitarnya ini menjadi persoalan bagaimana mengangkut sapi dari luar Jawa kesini. Selam ini tak difasilitasi secara khusus pengangkutnya sehingga mengganggu animal welfare coba diangkut pakai truk 24 jam, sampai di Jakarta stres, karena nggak bergerak, dulu kita lebih maju karena ada kereta gerbong khusus, sekarang nggak ada ini mau dihidupkan lagi.


Indonesia salah satu negara yang negara kepulauan tetapi tidak punya kapal pengangkut ternak, selama ini pakai kapal mix saja dicampur. Kalau sapi bakalan dari Australia dia menyediakan kapal khusus yang seolah-olah feel at home, turun dari kapal malah gemuk-gemuk karena sudah disediakan pakan.


Kalau pakai kapal umum, makan juga kurang. Jadi hikmahnya saat ini jadi bagus, sekarang ini kementerian perhubungan punya care, misalnya Pelni sudah memesan kapal untuk kapal ternak. Berikutnya hikmah dari rebut-ribut sapi ini adalah merevitalisasi semua rumah potong hewan terutama di NTB di Jawa Timur dan Jawa Barat sekarang ini sedang merevitalisasi Rumah Potong Hewan (RPH) sehingga memenuhi semua azas pemotongan yang baik.


Jadi kalau kapasitas dari RPH yang ada yang saya sebut tadi, kemudian kalau ini semua sudah baik nanti yang masuk ke Jakarta dan Jabodetabek, nanti tidak lagi sapi hidup, nanti yang dikirm daging beku.


Dengan demikian nanti kita bisa bikin peraturan bahwa dilarang sapi hidup masuk Jakarta, asalkan RPH-nya (rumah potong hewan) harus dipenuhi dulu. Keuntunganya dua kalau kita bisa memotong di daerah sentra produksinya yaitu soal residu sisa pemotongan bisa menjadi pupuk organik di daerah pertanian, kalau di potong di Jakarta akan jadi pencemaran karena dibuang di kali karena tak ada daerah pertanian. Dengan demikian Jakarta beruntung terbebas dari limbah limbah pemotongan.


Kembali soal kuota impor, tahun 2010 impor daging sapai 53% dari kebutuhan dalam negeri, di 2011 tinggal 35% impor, tahun 2012 tinggal 19%, dan tahun 2013, sementara 80.000 ton kira kira itu 14,5% dari kebutuhan 500.000 ton lebih kebutuhan di dalam negeri.


Kalau kita bicara masalah penghematan dari posisi impor 53% di 2010 menjadi 14,5%, kita bisa mengurangi 150.000 ton selama 4 tahun itu, kalau kita kali dengan harga impor per kg US$ 6 itu kita dapat US$ 900 juta atau mendekati US$ 1 miliar penghematan tak impor Barangkali ada yang mengalir ke peternak lokal, kita sebenarnya menghemat devisa dengan mengurangi impor itu.


Banyak negara protes dari kebijakan pengetatan impor oleh Kementan?


Masalah ini memang memunculkan tekanan masalah terhadap para importir yang biasa impor, juga dari negara-negara yang biasa memasok buat mereka itu menjadi malapetaka kalau kita bisa swasembada maka daging dan sapi sapi mereka mau kemana ini memunculkan tekanan.


Kedua adalah secara total kita kurangi, secara komposisi ada perubahan, kalau dulu hampir 100% yang kita impor daging beku, kita belum pernah mengimpor sapi bakalan, sekarang komposisinya berubah contoh tahun 2013 sekarang 53% dalam impor itu sapi bakalan yang kalau kita setarakan dagingnya itu lebih dominan dari pada daging bekunya.


Sebenarnya ada masalah apa di sini, kalau kita impor sapi bakalan yang ketentuannya maksimal berat 350 kg sapi hidup, itu paling tidak ada nilai tambah penggemukan di sini jadi ada usaha penggemukan ada tenaga kerja ada nilai tambah sebelum dipotong.


Bisa jelaskan kondisi sektor pertanian khususnya pangan, yang selama ini banyak dibanjiri impor?


Masalah perkebunan salah sub sector yang menyumbang surplus di pertanian, lebih banyak surplusnya diciptakan dari sector perkebunan khususnya sawit CPO dan karet itu saja sudah mencapai 60% .


Kalau pangan masih defisit kita masih impor gandum, 100% kita masih impor, hortikultura seperti sayur dan buah masih defisit tapi bukan kita nggak ekspor, kita ekspor ke Timur, ke China salak itu jadi raja kalau di dunia ini manggis, juga sarang burung walet, kalau Australia itu manggis, nanas kita juga ekspor. Cuma kalau produk hortikultura neraca perdaganganya masih defisit. Kalau pangan sudah swasembada nanti kita benahi hortikulturanya.


Apa sih persoalan yang mendasar di pertanian sehingga sector ini belum bisa sepenuhnya swasembada?


Persoalan dasar di pertanian adalah, petani hanya menguasai lahan terlalu kecil, petani yang jumlahnya 40 juta itu penguasaan lahannya 0,3 hektar atau 3.000 meter jadi skala ekonomi yang memadai dia nggak bisa hidup. Kalau cuma 3.000 meter itu mungkin akan sulit sepanjang tahun mengandalkan pertanian.


Kajian kita dari petani yang hanya punya 3.000 meter itu tak bisa hidup 100% dari pertanian, maksimum 70%, 30% lagi macam-macam kalau tak ada musim ya ngojek ya dagang atau serabutan lainnya, untuk bisa hidup. Kalau cuma 3.000 hektar apa yang bisa dilakukan.


Nah sekarang ada upaya memfarmingkan mereka kalau ada lahan yang sama, itu nanti bagus nanti dikelola secara bersama-sama. Yang mengelola dalam bentuk koperasi atau bisa juga investor, kalau bersama-sama posisi tawarnya bagus.


(hen/dnl)