"Selain listrik dan upah, kita juga mahal di biaya pelabuhan. Padahal pelabuhan penting bagi kita, apalagi bicara daya saing," ungkap Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismi saat ditemui di Restoran Seribu Rasa, Jakarta, Selasa (6/05/2014).
Bila dibandingkan dengan negara lain, lanjut Ernovian, ongkos pelabuhan di Indonesia adalah yang paling mahal. Biaya awal masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok rata-rata US$ 95. Sementara di Malaysia dan Vietnam adalah US$ 88, bahkan Thailand hanya US$ 70.
Selain itu, para pengusaha tekstil juga sering kali terkena penalti karena waktu tunggu bongkar muat (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok yang lama.
"Sekarang banyak kontainer yang menumpuk di sana, kita ikut tanggung. Kita urus barang masuk sampai keluar bisa 4-7 hari, akhirnya kena cost tambahan dan penalti masing-masing 200% dan 300% per kontainer. Belum lagi biaya penumpukan juga naik. Lewat 4 hari kena 500% per kontainer, kena 7 hari 750% per kontainer. Kalau ada 100 kontainer tinggal hitung saja," paparnya.
Dengan tingginya biaya produksi tekstil saat ini, mau tidak mau harga yang dibayar konsumen pun menjadi lebih mahal. Padahal menaikkan harga bukan menjadi pilihan, karena membuat produk dalam negeri tidak punya daya saing.
"Kita sudah hitung cost-nya. Yang jelas kita menaikkan harga karena cost-nya sudah naik. Akhirnya membuat daya saing produk kita terkikis dan mahal," katanya.
(wij/hds)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!
