Menurut Mirza, pasar keuangan tahun depan berpotensi mengalami tekanan karena bank sentral Amerika Serikat kemungkinan menaikkan suku bunga. Jika risiko itu terjadi dan Indonesia belum mengubah kebijakan subsidi BBM, maka investor asing bisa kehilangan kepercayaan
Pasalnya, reformasi subsidi BBM misalnya melalui kenaikan harga dibutuhkan untuk menstabilkan perekonomian. Tanpa kenaikan harga BBM bersubsidi, masyarakat akan semakin boros sehingga impor BBM melonjak. Ini tentu membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan.
"Kalau Indonesia dan negara emerging market tak menunjukkan suatu reform dan kemudian lebih dulu terjadi kenaikan suku bunga, maka capital inflow US$ 15 miliar (Rp 150 triliun) terancam reversal (berbalik arah)," tegas Mirza di gedung BI, Jakarta, Kamis (18/9/2014).
Tidak hanya neraca perdagangan dan transaksi berjalan, lanjut Mirza, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun terbebani akibat subsidi BBM yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp 200 triliun.
"Untuk membenahi hal itu dan bisa dilakukan dalam jangka pendek yaitu menaikkan harga BBM subsidi," katanya.
(mkl/hds)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!
