Daripada Subsidi BBM, Mending Beri Subsidi Tiket Kereta

Jakarta - Pemerintah menghabiskan uang hingga ratusan triliun rupiah untuk memberikan subsidi BBM yang mayoritas digunakan oleh orang-orang mampu pengguna mobil, sementara untuk subsidi KRL ekonomi hanya diberi sekitar Rp 700 miliar.

Anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Pambagio mengritik kebijakan pemerintah yang menghamburkan anggaran negara hanya untuk subsidi BBM. Sebaiknya, pemerintah memperbesar dana subsidi (PSO/Public Service Obligation) untuk transportasi seperti KRL yang dinilai jauh lebih efektif, karena penggunaan BBM subsidi yang tidak tepat sasaran.


"Jangan habiskan dan gunakan APBN sampai Rp 300 triliun hanya untuk subsidi BBM dan energi yang tidak ada gunanya buat rakyat. Gunakan langsung ke rakyat miskin termasuk untuk PSO," kata Agus kepada detikFinance, Jumat (29/3/2013).


Tahun ini, PT Kereta Api Indonesia (KAI) hanya menerima dana PSO Rp 704 miliar atau jauh lebih rendah dari tahun lalu sebesar Rp 770 miliar di tahun lalu. Pengurangan dana PSO dinilai adalah salah satu penyebab minimnya sarana dan prasarana yang ada saat ini di KAI. Bahkan KAI kesulitan untuk membenahi KRL ekonomi non AC yang usianya sudah cukup tua.


"Jadi kalau PSO tidak diberikan cukup oleh DJKA (Dirjen Perkeretaapian), maka KAI bisa saja menghentikan operasinya menurut UU 23/2007 karena kereta ekonomi kewajiban pemerintah, bukan PT KAI. Tahun ini (April) memang PT KAI akan menghentikan operasi semua KA ekonomi tidak saja KRL ekonomi karena kondisinya sudah tidak manusiawi dan membahayakan keselamatan konsumen. Selain itu sering sekali mogok dan menghambat perjalanan KRL Jabodetabek dan KA jarak jauh, karena relnya sebagian masih digunakan bersama dengan KA jarak jauh kecuali jika rel KRL Jabodetabek terpisah," tuturnya.


Ditambahkan Agus, pengenaan tarif KRL ekonomi AC sebesar Rp 9.000/penumpang belum menguntungkan bagi KAI saat ini, walaupun kewenangan operasional KRL ekonomi AC menjadi tanggung jawab PT Kereta Commuterline Jakarta (KCJ).


"Makanya KRL Ekonomi masih dijalankan oleh KAI bukan KCJ. Sebagai perusahaan swasta, KCJ harus hidup dari tiket dan kewenangan lain yang diberikan oleh KAI, seperti mengelola stasiun dan daerah sekitarnya agar bisa jadi sumber pendapatan (TOD/Transit Operation Development) dan tiket terjangkau. Tiket sekitar Rp 9.000/ penumpang belum bisa membuat KCJ untung besar, sementara KCJ harus menyisihkan keuntungan untuk beli rangkaian kereta,merawat/memperbaiki sinyal, merawat stasiun di jalur Jabodetabek," cetusnya.


(wij/dnl)