Langkah Anomali Bank Sentral

Jakarta - Biasanya Bank Indonesia (BI) mengumumkan suku bunga acuan (BI Rate) pada beberapa hari setelah rilis resmi angka inflasi. Soalnya, inflasi biasanya dijadikan sebagai salah satu faktor untuk menentukan BI Rate.

Tapi Agustus bukanlah bulan yang biasa dalam situasi perekonomian tahun ini. Sejak pertengahan Agustus pasar modal dilanda tekanan yang cukup dahsyat.


Nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga menembus Rp 11 ribu per dolar Amerika Serikat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah sampai di bawah level 4.000 poin. Imbal hasil (yield) obligasi negara seri benchmark FR0063 menembus kisaran 8 persen.


BI sendiri sudah melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) untuk menentukan BI Rate pada 15 Agustus. Ketika itu, BI Rate diputuskan tetap 6,5 persen, karena masih relevan dengan proyeksi inflasi. Masalahnya, pasca putusan itu pasar modal bergejolak.


Investor rupanya khawatir terhadap kemungkinan pengurangan atau bahkan penghentian stimulus moneter oleh bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserves/The Fed). Ditambah lagi investor juga mencemaskan transaksi berjalan Indonesia yang mengalami defisit sebesar US$ 9,8 miliar atau 4,4 persen dari produk domestik bruto (PDB).


Paket kebijakan ekonomi yang diumumkan pemerintah untuk mengatasi defisit transaksi berjalan, mengendalikan inflasi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menjaga daya beli, tak membikin pasar rileks.


Alhasil, pada pekan lalu BI kembali menggelar RDG tambahan yang sangat jarang terjadi. Keputusannya, BI Rate naik sebesar 50 basis poin menjadi 7 persen.


“Kenaikan BI Rate diharapkan dapat lebih memperkuat pengendalian ekspektasi inflasi dan memitigasi risiko kemungkinan terjadinya pengaruh pelemahan rupiah terhadap inflasi dan sebaliknya. Kebijakan ini juga sebagai bagian dari langkah untuk menekan defisit transaksi berjalan menuju pada tingkat yang sehat dan berkesinambungan,” kata Difi Johansyah, Direktur Departemen Komunikasi BI.


BI, lanjut Difi, menemukan indikasi bahwa perlambatan ekonomi domestik mulai terjadi. Belum lagi ada risiko dan ketidakpastian perekonomian global yang masih relatif tinggi akibat dampak stimulus moneter oleh The Fed, penurunan harga komoditas, maupun perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.


Dian Ayu Yustina, ekonom Bank Danamon, menilai salah satu tujuan langkah BI menaikkan suku bunga acuan adalah untuk memulihkan optimisme pasar yang ternyata tidak pulih dengan paket stimulus dari pemerintah. “Ternyata masih ada gap antara regulator dengan pelaku pasar. Paket ini tidak cukup untuk menenangkan gejolak,” katanya.


Dian berharap dalam beberapa bulan ke depan kenaikan suku bunga acuan ditambah dengan paket kebijakan pemerintah akan berdampak positif. Jika paket stimulus pemerintah berjalan lancar, maka defisit transaksi berjalan diperkirakan turun menjadi 3,4 persen dari PDB pada kuartal III-2013.


Oleh karena itu, Dian berpendapat mungkin BI tidak perlu lagi menaikkan suku bunga acuan sampai akhir tahun. “Kenaikan sebesat 125 basis poin sepanjang tahun ini sepertinya sudah cukup. Meski dalam statement-nya BI menilai ketidakpastian masih cukup tinggi, tetapi mereka sudah melakukan langkah yang bold dengan menaikkan BI Rate menjadi 7 persen,” katanya.


Namun jika terjadi dinamika ekonomi global , terutama terkait perubahan kebijakan stimulus di Amerika Serikat, maka bukan tidak mungkin BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan. “Kami masih belum bisa memperkirakan besarannya, tergantung perkembangan ekonomi dunia,” ujar Dian.


Bagaimana dampak kenaikan bunga acuan ini terhadap sejumlah sektor, seperti perbankan, perumahan, dan otomotif? Simak artikel selanjutnya.


(DES/DES)