Menjepret Laba Di Bisnis Kamera

Jakarta - Fotografi digeluti oleh banyak orang di Indonesia. Mereka berasal dari berbagai latar belakang dan profesi. Mulai dari pelajar, mahasiswa, pekerja kantoran, ibu rumah tangga, sampai para profesional seperti fotografer dan wartawan.

Ramainya pehobi fotografi membuat selalu ada peluang bagi siapapun untuk berbisnis toko dan gerai penjualan pernak-pernik fotografi, atau berbisnis studio foto profesional.


Peluang inilah yang disambar Boy Sandy, seorang pehobi fotografi yang kini bersalin rupa jadi pebisnis fotografi. Tokonya di bilangan Permata Hijau, Jakarta Selatan, termasuk yang direkomendasikan oleh banyak fotografer.


Pada Juni 2009, bersama beberapa kawan, Boy merintis tokonya dengan modal awal Rp 170 juta. Maklum, perlengkapan kamera tak ada yang terbilang murah.


Hebatnya, karena begitu banyaknya pehobi dan profesional di bidang fotografi, modal Boy dan rekan-rekannya kembali hanya dalam waktu satu setengah tahun. Saban hari mereka bisa membukukan 75 sampai 100 transaksi, baik di toko maupun yang menyambangi toko mereka di Internet.


Berapa omzetnya? “Bisa sampai Rp 1,5 miliar dalam sebulan,” kata Boy. Wow! Dia bilang itu wajar karena modal untuk berbisnis fotografi tak kecil sehingga margin keuntungan pun sebetulnya tak besar-besar amat. Paling besar 25 persen.


Jelas, kamera adalah barang jualan yang paling banyak dicari. Setelahnya baru tas, tripod, dan kemudian lensa. Ke depan, Boy ingin merambah bidang jasa reparasi dan penyewaan peralatan fotografi.


Menurut Boy, bisnis fotografi masa depannya cerah karena semakin banyak orang yang memiliki hobi itu. Meski begitu, tantangannya pun ada yakni makin banyaknya pesaing serta nilai tukar rupiah yang fluktuatif. Rahasia supaya bertahan, kata dia, adalah pintar-pintar mengatur siasat dagang.


Ada lagi pehobi yang terjun ke bisnis studio foto dan menjadi fotografer profesional. Titus Ary contohnya. Pria 27 tahun ini membuka sebuah studio di Depok, mulai Mei lalu. Proyeknya umumnya adalah foto-foto pre-wedding dan pernikahan.


Meski untuk setiap proyek Titus mendapatkan bayaran Rp 6 juta ke atas, sampai sekarang bisnisnya belum balik modal. Tapi dia tak ambil pusing karena bisnisnya memang terbilang baru berjalan.


Titus jatuh cinta pada fotografi sejak 2005. Dia 'keracunan' hobi teman-teman kuliahnya. Setelah di awal selalu jadi peminjam, suatu ketika Titus bisa membeli kamera sendiri. Setelah delapan tahun jadi pehobi, Titus ingin 'naik kelas'.


“Modal nekat saja. Saya beli kamera lagi, beli segala macam peralatan, dan bersolo karir,” ujar Titus. Dia bilang, bisnis ini tak akan pernah mati meski pesaing banyak. “Ini seperti industri makanan, kebutuhan akan selalu ada,” katanya.


Titus dan studionya sedang menyusun proyek unik, mengumpulkan foto orang-orang berambut gondrong. Sudah ada penerbit yang berminat dengan proyek tersebut. “Rambut boleh sama hitam, tapi karakter siapa yang tahu. Saya rasa itu tema yang menarik,” katanya seraya tertawa.


Titus juga sedang melirik segmen foto bayi karena dianggap sedang berkembang. “Kita juga harus bisa menjaga mood dan mengarahkan si bayi. Itu tantangan,” ujarnya.


(DES/DES)


Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!