"Kita lakukan semacam audit distribusi, kita tahu bahwa pabrik gula rafinasi itu memproduksi sejumlah berapa yang dibutuhkan industri makanan dan minuman. Makanya audit distribusi tadi berapa yang mengalir ke industri makanan minuman baik yang besar, menengah, dan kecil bisa kita audit. Kalau misalnya dari produksi ternyata yang didistribusikan itu terlalu kecil, ya ini kemana tentu ke pasar tradisional," kata Sekjen Kementerian Perdagangan Gunaryo saat ditemui di Kantor Kemendag Jakarta, Selasa (17/9/2013).
Menurutnya jika terbukti, para produsen gula rafinasi yang sengaja menjual ke pasar tradisional maka akan kena sanksi. Sanksi itu terutama dikenakan bagi importir maupun pabrik pengolahan raw sugar.
"Itu nanti berdasarkan audit distribusi, kalau kita lebih pada sanksi administratif ya, misalnya kurangi izin impornya dan sebagainya. Sehingga kalau importasi raw sugarnya kita batasi, tentu jumlah yang akan digiling itu jadi berkurang, itu cukup beri efek jera bagi mereka. Kalau itu dijual di pasar konsumsi bisa langsung dikenakan sanksi," katanya.
Gunaryo mengakui sedikit kesulitan membedakan gula kristal putih (GKP) dengan gula impor rafinasi. Apalagi terdengar kabar banyak gula impor rafinasi yang menyerap ke pasar tradisional.
Gula impor atau gula rafinasi di Indonesia hanya digunakan untuk sektor industri khususnya makanan dan minuman. Sedangkan untuk konsumsi rumah tangga digunakan gula lokal.
"Kita sudah membedakan antara gula rafinasi dan gula kristal putih (GKP) konsumsi, ini memang gampang-gampang susah," ungkap
Di dunia, hanya Indonesia yang masih menganut dua jenis gula yaitu GKP dan gula rafinasi. Gula rafinasi sejatinya jenis gula putih yang sudah umum dipakai di dunia internasional dan industri. Khusus Indonesia, gula rafinasi hanya boleh dikonsumsi di kalangan industri, tak boleh masuk ke pasar umum atau rumah tangga yang merupakan pasar GKP.
(wij/hen)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!