Pengembang dan Perbankan Jadi 'Kambing Hitam' Rendahnya KPR Subsidi

Jakarta - Penyerapan KPR rumah subsidi melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) masih terbilang rendah. Dalam 8 bulan, FLPP baru terserap 51% dari target 121.000 unit rumah.

Deputi Pembiayaan Perumahan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) Sri Hartoyo menjelaskan kendalanya antaralain dari pengembang. Para pengembang terkendala memasok kebutuhan rumah subsidi.


"Kalau dari pengembang utamanya dari supply. Kalau dari permintaan itu masih banyak," kata Sri saat diskusi di Kantor Kementerian Perumahan Rakyat di Jakan Raden Patah, Jakarta, Kamis (12/9/2013).


Masalah mendasar yang dihadapi pengembang adalah perizinan tanah. "Dari supply itu kan hambatan sertifikasi itu kan harus 2 tahap, itu kan menimbulkan cost," tambahnya.


Selain ada juga masalah dari sisi perbankan terkait upaya menyalurkan kredit ke nasabah calon penerima rumah subsidi. Penerima kredit terkadang tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan bank itu sendiri.


"Dia layak KPR apa nggak. Dia record creditnya bagus apa nggak. Dia harus lolos istilahnya BI checking, lalu sisa kapasitas penghasilan dia masih mencukupi nggak untuk angsuran, kalau tidak mencukupi, biasanya pemerintah akan menyarankan tambah uang mukanya. Kalau itu tidak dipenuhi memang tidak akan bisa terjadi transaksi," kata Sri.


Sri meyakini, pemerintah telah benar menerapkan kebijakan FLPP saat ini. Meski pada awalnya diprogramkan, kebijakan FLPP selalu berubah-ubah terutama soal polemik bunga KPR.


"Kalau dari pemerintah itu kebijakannya sudah bagus, tidak ada yang berubah sejak tahun 2012. Sebenarnya tahun 2012 itu sempat berubah, dulu tipe harus 36, harganya harus Rp 70 juta. Akhirnya kan dinormalkan, harga dinaikkan dari Rp 80 smapai harga yang diregionalkan itu. Terus tipenya tidak harus 36," tutupnya.


(zul/hen)


Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!