Hal ini diungkapkan oleh Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Daniel Ibrahim dalam agenda pembahasan energi terbarukan di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC ke-21 di Nusa Dua, Bali, Rabu (2/10/2013).
"Kemarin kan juga disampaikan oleh wakil dari organisasi di bidang keenergian APEC ini, dia menyampaikan, subsidi itu harus dihapus untuk mendorong green, renewable, and sustainable energy. Kenapa? Karena memang energi fosil kok disubsidi," ujarnya.
Padahal, menurut Herman, semua pihak sepakat energi bersumber dari fosil harus dikurangi dan segera dialihkan ke energi terbarukan.
"Kita mau menguranginya. Jadi yang harus disubsidi itu adalah energi terbarukan atau energi fosil, dan energi fosilnya, pelan-pelan dicabut dan kemudian dalam jangka panjang dipajak," jelasnya.
Herman menuturkan, kondisi di Eropa dari pajak minyak bumi pemerintahnya justru mendapat banyak pemasukan. Beda hal dengan Indonesia yang hingga saat ini masih menggelontorkan anggaran ratusan triliun untuk membayar subsidi.
"Kalau harga energi fosil/minyak di Eropa, pemerintah itu bukannya bayar subsidi, malah dapat sekitar Rp 500 triliun, berdasarkn hitung-hitungan saya. Karena di Eropa, harga premium atau pertamax di Eropa itu sekitar 100% pajak. Jadi harganya 1,6-1,7 euro per liter. Jadi kalau kita pelan-pelan ke situ, pemerintah malah mendapatkan income besar dari penjualan BBM," paparnya
"Dan itu sebetulnya yang sulit adalah transisi ke situ. Karena akan berpengaruh kepada biaya-biaya yang menyebabkn orang-orang low income juga akan terpengaruh. Tapi, sekali sampai di situ sebetulnya itu sangat bagus untuk perekonomian dan pengembangan energi lain," pungkas Herman.
(mkl/dnl)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!
