Industri Furnitur RI Ogah Pakai Pakai Kayu Legal Karena Mahal

Jepara -Dari 2.741 pelaku usaha permebelan, furnitur, dan kerajinan kayu dari Asosiasi Pengusaha Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), hanya 114 yang memiliki Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Jumlah ini sangat sedikit, kenapa?

Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Asmindo I Ketut Alit Wisnawa mengatakan, industri menemui beberapa kendala dalam menerapkan SVLK. Salah satunya adalah dari sisi legalitas perusahaan yang mencakup izin usaha, akta pendirian perusahaan, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dan lainnya.


"Masih terdapat kesulitan mendasar. Terutama di prinsip 1, yaitu legalitas perusahaan itu sendiri. Kebanyakan itu dikeluarkan oleh pemda dan pemkot, termasuk SIUP (surat izin usaha perdagangan) itu prosesnya panjang, berbelit-belit. Asmindo juga sudah mulai melakukan pendekatan kepada Pemda-Pemda," ungkap I Ketut dalam acara World Wild Fund (WWF) di Jepara, dikutip Kamis (23/1/2014).


Tak hanya itu saja, persoalan dana pun menjadi salah satu kendala penerapan SVLK. Ini setidaknya terjadi bagi industri baik kecil, menengah, atau atas yang mau memiliki sertifikasi SVLK, setidaknya harus menyiapkan dana hingga Rp 80 juta.


Direktur Eksekutif Asmindo Indrawan memaparkan, tahapan mendapatkan sertifikat SVLK adalah dari pendampingan. Namun ini hanya berlaku untuk industri yang tergolong belum siap atau masih ada aspek legalitas yang harus didapatkan. Seperti legalitas perusahaan atau legalitas bahan baku. Itu semua bisa dibantu dengan pendampingan yang dilakukan asosiasi.


"Kalau belum siap harus ada pendamping. Pendamping Rp 20 juta juga," kata Indrawan.


Selain itu, ada aspek perizinan dari legalitas perusahaan seperti analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). "Untuk Amdal saja di Jepara itu Rp 30 juta," tambahnya.


Setelah itu, barulah industri tersebut mendapatkan sertifikasi SVLK dengan merogoh kocek Rp 20-40 juta, tergantung dari berapa banyak volume kayu yang diproduksi.


Tak berhenti di situ, industri pun harus merogoh kocek lagi di setiap periode yang ditentukan. Industri harus menyiapkan setidaknya Rp 20 juta untuk 14 lembaga survei yang melakukan audit. Audit yang dilakukan salah satunya terfokus pada aspek berapa banyak bahan baku yang masuk disesuaikan dengan berapa banyak produksi dan produk yang diekspor.


"SVLK untuk industri kecil berlaku 6 tahun, dan setiap 2 tahun diaudit. Untuk industri besar berlaku 3 tahun, setiap tahun diaudit," jelas Indrawan.


(zul/dnl)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!