"Penutupan pabrik ini tidak ada kaitannya dgn pengaruh kebijakan pemerintah, baik terkait dgn kebijakan tarif cukai maupun kebijakan industri hasil tembakau," kata Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai DJBC, Susiwijono Moegiarso di Lapangan Banteng, Jakarta, Selasa (20/5/2014)
Perubahan pola konsumsi rokok dari kretek menuju filter memang sangat mempengaruhi produksi perusahaan rokok. Sehingga bila konsumsi terus turun, maka produksi juga akan dikurangi secara perlahan hingga tidak berproduksi.
Susiwijono menilai banyak perusahaan rokok juga mengalihkan produksi ke jenis rokok lainnya, untuk menjangkau kembali pasar di Indonesia.
"Ini murni karena perubahan pola konsumsi hasil tembakau yang mengakibatkan pabrik rokok juga mengubah pola produksinya, dengan mengurangi produksi rokok SKT dan meningkatkan produksi rokok SKM (sigaret kretek mesin) dan SPM (sigaret putih mesin)," ujarnya.
Menurutnya kondisi ini sulit dihindari, walaupun seharusnya bisa diantisipasi sejak beberapa tahun yang lalu. Tren penurunan konsumsi rokok SKT sudah berlangsung sejak 10 tahun terakhir.
"Tren perubahan pola konsumsi rokok yang pasti akan mengakibatkan perubahan produksi rokok," tukasnya.
Berikut gambaran pangsa pasar rokok dalam 10 tahun terakhir yang dikelompokkan dalam 3 jenis rokok, yakni : SKT (Sigaret Kretek Tangan), SKM (Sigaret Kretek Mesin), SPM (Sigaret Putih Mesin) :
Tahun 2004:
SKT : 36,5%, SKM : 55,8%, SPM : 7,7%.
Tahun 2009:
SKT : 33,8%, SKM : 59,8%, SPM : 6,4%.
Tahun 2013:
SKT : 26,6%, SKM : 67,3%, SPM : 6,1%.
(mkl/hen)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!
