Bisnis Sawit Selalu Terkendala Masalah Lahan

Jakarta - LSM Sawit Watch menyebutkan bisnis sawit di Indonesia sangat rentan dengan konflik lahan. Sebab, pemerintah belum memiliki sistem tata kelola baru pemberian izin pemanfaatan lahan.

"Lahan ini sumber konflik. Kalau ada soal lahan itu konflik pasti masyarakat yang ditangkap . Saya belum lihat ada buldoser yang ditangkap udah masuk ke lahan orang," ungkap Koordinator Sawit Watch Jefri Gideon Saragih saat journalis class yang diselenggarakan oleh Yayasan Perspektif Baru (YPK) dan Kemitraan di Balai Kartini, Gatot Subroto, Selasa (19/3/2013)


Untuk itu, menurutnya Instruksi Presiden (Inpres) No 10 tahun 2011 tentang Penundaan (moratorium) pemberian ijin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut harus diperpanjang. Inpres diketahui akan berakhir bulan Mei 2013, setelah berjalan 2 tahun.


"Karena gampangnya perusahaan mendapatkan HGU dari pemerintah, kemudian sering terjadi perusakan hutan atau deforetasi," sebut Jefri.


Ia mengakui, pengusaha sawit selalu mencari alasan untuk menolak moratorium tersebut. Misalnya seperti pengurangan penyerapan tenaga kerja ataupun pertumbuhan ekonomi.


Jefri menegaskan, dibandingkan dengan perusahaan Malaysia, produksi sawit di Indonesia terbilang rendah. "Perusahaan-perusahaan di Indonesia itu cuma 26-28 juta ton. Masih dibawah Malaysia 34 juta ton," tuturnya.


Selain itu, terkait tenaga kerja, Ia mengaku banyak perusahaan sawit yang berlaku tidak adil pada buruh. Seperti halnya dengan posisi sebagai buruh lepas.


"Di Indonesia itu 1 orang ngurus 4 ha. Kalau nggak sanggup ya nggak digaji. Harus dihitung 4 juta buruh itu 60% buruh harian lepas. Apa ini ditambah yang lepas atau yang lepas ini dijadikan buruh tetap," jawabnya.


(dru/dru)