"Kita keberatan dengan penarikan pajak 1% dari omzet. Itu memang kebijakan tapi 1% terlalu besar, harus dilihat dari keuntungan berapa bukan omzet, kan margin kita belum tentu segede itu," kata Nugroho saat ditemui detikFinance di Pameran Produk Dalam Negeri 2013, di JCC Senayan, Minggu (22/9/2013).
Ia menjelaskan, pemerintah seharusnya lebih memihak kepada para perajin atau pengusaha kelas UKM. Menurutnya, para pengusaha tersebut justru meningkatkan perekonomian rakyat.
"Perajin, pengusaha kayak kita kan banyak sekali cost produksinya, sangat tinggi. Apalagi batik banyak bahan yang dipakai seperti obat, lilin, sebenarnya batik ini kena berbagai macam pajak bisa sampai puluhan persen, ini kan nggak fair," ujarnya.
"Juli kemarin kita sudah kena pajak 1%. Harusnya kalau pun mau narik pajak jangan dari omzet tapi keuntungan. Kalau dari omzet ya berat sekali ya. Keuntungan kita kan sekitar 30%, harusnya 1% dari laba itu," kata dia.
Saat ini, dia memproduksi batik tulis Solo yang diproduksi di Sragen, Jawa Tengah dengan kisaran harga Rp 450 ribu hingga Rp 4 juta per satu kain dengan ukuran 2,5 meter.
"Ini lebih dikenal batik Solo tapi dibuat di Sragen, Jateng. Batik tulis asli dari Rp 450 ribu sampai Rp 4 juta," katanya.
Dengan proses pembuatan satu kain batik selama 6-8 bulan, membuat batik Solo ini punya nilai ekonomi yang tinggi. Selain itu, di setiap coraknya punya cerita dan sejarah sendiri.
"Pembuatan 6-8 bulan, ini yang bikin mahal dan kita juga motifnya khas. Kainnya bahannya katun. Warna khas kita soga, cokelat ini ciri khas Solo, selain itu setiap batik ada filosofinya seperti semen kolang-kaling. Pasarnya kita baru Jakarta, Jogja, dan Solo," kata Nugroho.
(drk/hen)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!
