Buruh dan Pengusaha Sering Ribut Soal Upah, Siapa yang Salah?

Jakarta -Beberapa tahun terakhir kisruh kenaikan upah minimum provinsi (UMP) di Indonesia terus terulang dan diwarnai aksi demo dan mogok buruh. Kedua pihak antara buruh dan pengusaha sama-sama merasa paling benar, lalu siapa yang salah?

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Erwin Aksa mengatakan buruh dan pengusaha tak bisa disalahkan soal kenyataan ini. Ia memahami tuntutan buruh soal kenaikan upah yang tinggi karena setiap tahun biaya hidup terus naik karena kenaikan harga-harga barang.


Disisi lain, pengusaha pun terus dibebani oleh biaya-biaya yang terus bartambah seperti kenaikan tarif listrik, BBM, biaya produksi, hingga biaya-biaya 'siluman' seperti pungutan liar (pungli) sampai sumbangan.


"Intinya di pemerintah, saya kira ketegasan perlu agar pemerintah buat aturan yang jelas. Kenaikan UMP permasalahan tahunan, sehingga perlu dibuat formula yang jelas, saat ini setiap tahun buruh bergerak begini, lalu ada tekanan menjadi alasan untuk memenuhi permintaan buruh," katanya kepada detikFinance, Kamis (31/10/2013).


Menurut Erwin, selain membuat formula yang jelas soal pengupahan, pemerintah punya pekerjaan rumah seperti soal jaminan sosial, jaminan perumahan, transportasi murah dan jaminan pendidikan. Bahkan termasuk menjamin harga-harga kebutuhan pokok yang tetap terjangkau masyarakat.


"Pemerintah harus memformulasikan itu semua, saat ini kesannya semua beban ditanggung oleh dunia usaha," tegas Erwin.


Menurut Erwin, pengusaha sudah banyak dibebani pengeluaran seperti pengeluaran upah, pungli, biaya tak terduga, CSR, keagamaan dan lain-lain. Bahkan pengeluaran sumbangan yang diminta dari banyak komponen masyarakat yang nilainya bisa mencapai 1% dari operasional perusahaan.


"Belum lagi permintaan sumbangan dari pemerintah, LSM, tentara, polisi, sampai RT juga minta sumbangan. Kalau ini tidak bisa dikontrol, ke depannya Indonesia akan tertinggal," katanya.


Sebagai pengusaha Erwin tak menutup mata soal banyaknya sumbangan dan proposal dari LSM, tokoh masyarakat, termasuk permintaan sumbangan dari partai dan lain-lain. "Semua elemen mau bikin acara, organisasi bikin acara semua harus memikul, kalau tak disumbang dianggap pelit, biaya semakin besar," katanya.


(hen/dru)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!