Ini Alasan Jokowi-JK Usung Kemandirian Pangan

Jakarta -Pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengusung program kemandirian pangan dan menghilangkan ketergantungan impor. Apa alasan pasangan ini mengusung program tersebut?

"Bangsa atau negara dengan penduduk di atas 100 juta tidak mungkin menjadi berdaulat kalau pangannya bergantung dari impor," tegas Rokhmin Dahuri, penyusun visi misi Jokowi-JK, dalam diskusi publik di JKW Center, Menteng, Jakarta, Minggu (25/5/2014).


Mengutip dari pernyataan mantan presiden Soekarno, lanjut Rokhmin, pertanian dan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa. Ini berhubungan dengan kemampuan negara menyediakan pangan untuk 240 juta penduduknya. "Pertanian dan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa," ujarnya.


Kemudian, pertanian juga merupakan sektor penyerap tenaga kerja yang signifikan. Mengembangan kemandirian pangan dan sektor pertanian berarti membantu mengurangi kemiskinan, pengangguran, serta kesenjangan pendapatan.


"Sekitar 39% tenaga kerja bekerja di sektor pertanian dengan arti luas. Jadi harus di-manage dengan baik," sebut Rokhmin, yang pernah menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan ini.


Dalam 5 tahun ke depan, program yang realistis untuk kemandirian pangan adalah dengan peningkatan daya saing produk melalui penerapan inovasi dan teknologi.


"Jadi kalau negara ingin makmur dan bermartabat kuncinya adalah daya saing. Itu bisa ditempuh dengan sentuhan teknologi dan inovasi. Dalam 5-10 tahun yang lebih relistis adalah itu," kata Rokhmin.


Sejauh ini, demikian Rokhmin, langkah tersebut memang sudah direncanakan. Tapi realisasinya tidak terlihat. Seperti tidak adanya peningkatan produksi karena jumlah alat pengolahan pertanian yang sedikit dan tidak ramah lingkungan.


Kemudian adalah kurangnya manajemen profesional yang meliputi kemampuan petani dari proses hulu hingga hilir.


"Terus, produk impor juga makin lama makin banyak. Setiap Impor 1 kg beras mendapat keuntungan Rp 300. Jadi kalau impor 2 juta ton itu untungnya Rp 800 miliar. Jadi memang lebih baik impor dari pada produksi," terangnya.


(mkl/hds)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!