Demikian disampaikan Direktur Indef Enny Sri Hartati dalam konfrensi pers 'Tanggapan Indef atas RAPBN P 2013', di Apartemen Park Royal, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (10/6/2013).
"Pemerintah hanya membicarakan kenaikan harga BBM untuk selamatkan fiskal dari pembengkakan subsidi. Tapi tidak berbicara sama sekali tentang penataan sektor energi," kata Enny
Padahal, menurutnya pasca kenaikan BBM, dibutuhkan penataan secara komperhensif. Seperti penguatan BUMN untuk eksplorasi, pembangunan kilang minyak, penghentia penyelundupan ekspor minyak, reformasi pelaku dan pengelolaan impor minyak, dan konversi BBM ke gas.
"Kemudian ada juga pengalihan minyak ke batubara untuk PLN produksi listrik, DMO untuk gas dan batubara, kebijakan transportasi publik yang utuh dan pajak otomotif yang lebih progresif," sambungnya.
Enny menyarankan pemerintah harus melakukan realokasi anggaran dari penghematan kenaikan harga solar dan premium untuk mendorong tumbuhnya energi alternatif. Sehingga negara tidak tersandera lagi dengan persoalan harga minyak.
"Alokasi anggaran untuk subsidi dan insentif pengembangan energi alternatif justru minim," sebutnya.
Ia mengingatkan, subsidi BBM terus membengkak dari waktu ke waktu. Tahun ini saja, subsidi bertambah Rp 16,1 triliun, yaitu dari Rp 193,8 triliun menjadi Rp 209,9 triliun.
Artinya, menurut Enny, kebijakan pemerintah soal energi hanya menimbulkan kerugian. Subsidi energi selama 2005-2013 menghabiskan 80% dari total subsidi.
"Jadi dibanding manfaat, lebih banyak kerugian. Selain mendorong masyarakat konsumtif dan boros energi, kebijakan BBM yang terlalu murah ini membuat pemerintah tidak mampu membiayai program-program stimulus fiskal yang produktif serta pembiayaan sektor prioritas menjadi terbengkalai," ungkap Enny.
(dru/dru)