"Sebetulnya 1992 kita pernah swasembada kedelai," kata Suswono ditemui di Institut Pertanian Bogor, Selasa (3/9/2013).
Apa yang membuat swasembada kedalai sulit? bahkan lonjakan harga kedelai saat ini telah membuat pengusaha tempe-tahu menjerit.
"Pada 1992 Indonesia bisa swasembada kedelai karena luas lahan saat itu mencapai 1,5 juta hektar untuk lahan kedelai, saat itu harga kedelai 1,5 kali lebih mahal dari harga beras, jadi lebih menguntungkan tanam kedelai dari pada padi, makanya bagi petani jadi tertarik tanam kedelai," ucap Suswono.
Setelah itu, produksi kedelai Indonesia terus menurun, pada krisis 1997-1998 Indonesia menjadi pasien IMF. Pada waktu itu ada larangan proteksi terhadap beberapa bahan pokok, salah satunya kedelai, proteksi hanya boleh dilakukan pada komoditi beras.
"Akibat negara kita dilarang melakukan proteksi salah satunya kedelai, mulai itu arus impor, keran impor dibuka dan harga kedelai impor menjadi sangat murah," ungkap Suswono.
Akibat harga kedelai yang murah ini karena gelontoran kedelai impor, membuat petani lokal mendapatkan keuntung kecil ketika menanam kedelai. "Harganya yang murah, petani disitu mulai tidak tertarik tanam kedelai," ujarnya.
Sehingga para petani lebih memilih menanam tanaman pangan selain kedelai. Kondisi ini diperparah dengan lahan pertanian yang makin sempit akibatnya ada konversi atau alih fungsi lahan.
"Saat ini dari klasifikasi bahan pangan itu bagi petani yang paling menguntungkan pertama tanam tebu, kedua tanam padi, ketiga jagung baru keempat kedelai," katanya.
Sementara saat ini, harga kedelai impor hanya dijual Rp 4.500 per Kg, sementara petani baru dapat untung jika harga bisa dijual Rp 6.000-Rp 7.000 per Kg. "Bayangkan saat petani mau tanam kedelai, harga kedelai impor hanya Rp 4.500 per Kg, padahal petani baru bisa untung jika harganya Rp 6.000-Rp 7.000 per Kg," tandasnya.
(rrd/hen)
