KPPU: Kuota Impor Bawang Putih Kebijakan yang Salah

Jakarta -Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan komoditas bawang putih tidak bisa ditanam di Indonesia karena beriklim tropis. Bawang putih hanya tumbuh dan bisa ditanam di negara beriklim subtropis. Sehingga sistem kuota impor tak cocok diterapkan terhadap bawang putih.

"Berdasarkan fakta pada persidangan ada sesuatu yang tidak bisa dihindari karena bawang putih ini termasuk tanaman subtropis. Komoditas bawang putih tidak sesuai dengan iklim di Indonesia yang berkisar antara 27-31 derajat celsius. Sehingga produksi bawang putih kita tidak ada atau berbeda kualitasnya dengan bawang putih dari China," ungkap salah satu komisioner KPPU sekaligus pimpinan sidang majelis komisi Sukarmi saat membaca sidang pemutusan kasus dugaan kartel bawang putih di Gedung Pusat KPPU Jalan Juanda Jakarta, Kamis (20/03/2014).


Rata-rata per tahun kebutuhan bawang putih di Indonesia mencapai 400.000 ton. Sementara itu produksi bawang putih dalam negeri hanya mencapai 12.000-15.000 ton. Sehingga sebagian besar kebutuhan bawang putih dalam negeri harus dipenuhi dari impor.


Sukarmi melanjutkan karena diproduksi secara massal di China, harga bawang putih impor jauh lebih murah dibandingkan harga bawang putih lokal. Sedangkan secara kualitas, bawang putih jauh lebih baik dibandingkan bawang putih lokal.


"Di China produksi bawang putih dilakukan secara massal sehingga harganya jauh lebih murah dibandingkan harga bawang putih lokal. Tetapi diperjelas bahwa bawang putih impor dan bawang lokal tidak ada di dalam pasar yang sama," imbuhnya.


Ia menganggap pemerintah melakukan kesalahan menerapkan sistem kuota pada importasi bawang putih. Sebelumnya Kementerian Perdagangan (Kemendag) memang memberikan kuota impor pada bawang putih tetapi karena melejitnya harga bawang putih, Kemendag yang saat itu dipimpin oleh Gita Wirjawan akhirnya membebaskan impor bawang putih.


"Kebijakan kuota adalah kebijakan yang salah dari pemerintah dan tidak masuk akal karena bawang putih tidak bisa diswasembadakan. Sehingga siapapun seharusnya bisa melakukan impor. Pembatasan jumlah barang yang ada sehingga konsumen membeli harga yang mahal," jelasnya.


(wij/hen)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!