Pemerintah Dikritik Karena Ingin Bebaskan Pajak Impor Kakao

Bogor -Rencana pembebasan bea masuk biji kakao dari 5% menjadi 0% dikritik oleh Institute for Development and Finance (INDEF). Kebijakan ini dinilai tidak rasional, bahkan merugikan petani kakao dalam negeri.

"Pembebasan bea masuk biji kakao yang dicanangkan pemerintah saya rasa tidak rasional," ungkap Direktur INDEF Enny Sri Hartati saat berdiskusi dengan tema 'Mencari Pemimpin yang Pro Pertanian' di Hotel Amaroossa, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (17/05/2014).


Melihat data INDEF yang dikutip Kementerian Pertanian (Kementan), Enny menyebut, produksi biji kakao Indonesia di 2013 adalah sebesar 777.000 ton. Sementara itu kebutuhan untuk industri hanya 324.000 ton, dan sisanya 188.000 ton diekspor.


Bahkan menurut laporan Badan pangan Dunia atau FAO, Indonesia adalah produsen kakao terbesar kedua di dunia di bawah negara Pantai Gading. Sedangkan Indonesia juga tercatat mengimpor kakao di 2013 dengan jumlah yang tidak begitu besar, yaitu 30.000 ton.


"Produksi kita cukup besar dan nilai impor tidak signifikan kenapa bea masuk kakao harus 0%," imbuhnya.


Di lain pihak, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang kebijakan pengenaan bea keluar progresif biji kakao 5% hingga 15%. Peraturan ini justru akan lebih banyak menyerap biji kakao dalam negeri sehingga pembebasan bea masuk impor dinilai tidak perlu.


"PMK tahun 2012 dimana dikeluarkan kebijakan bea keluar progresif untuk ekspor kakao mentah 5% hingga 15% ini kita apresiasi karena mendukung program hilirisasi kakao. Tiba-tiba ada wacana pembebasan bea masuk di mana rasionalnya?" cetus Enny.


(wij/dnl)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!