Mengutip data Reuters, Rabu (9/10/2014), dolar AS saat ini diperdagangkan di posisi Rp 12.235. Ini merupakan posisi dolar AS terkuat sejak 27 Desember 2013, yang kala itu Rp 12.260.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan tekanan rupiah kali ini. Pertama, investor cemas dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang tidak sebaik perkiraan sebelumnya.
"Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi ke bawah perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini dari 3,4% menjadi 3,3%. Pertumbuhan ekonomi Jerman dan Prancis diperkirakan tumbuh lebih buruk dari ekspektasi sebelumnya," sebut riset Batavia Prosperindo Sekuritas.
Selain itu, pelaku pasar juga menyoroti perkembangan politik nasional. Koalisi Indonesia Hebat, pendukung presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi), lagi-lagi kalah dalam 'pertarungan' di parlemen. Kali ini, Koalisi Indonesia Hebat gagal mengusung pilihannya sebagai pimpinan MPR.
"Koalisi Merah Putih memenangkan pemilihan paket pimpinan MPR dengan suara 347, sementara Koalisi Indonesia Hebat dengan 330 suara. Suara DPD yang tidak solid mendukung Koalisi Indonesia Hebat mendorong kemenangan Koalisi Merah Putih," tulis riset Batavia Prosperindo Sekuritas.
Ini merupakan kemenangan Koalisi Merah Putih yang kesekian kalinya di parlemen. Sebelumnya, koalisi pengusung Prabowo Subianto di pemilihan presiden 2014 ini unggul dalam isu UU MD3, UU Pilkada, dan pemilihan pimpinan DPR.
Posisi Koalisi Merah Putih yang begitu dominan di parlemen dikhawatirkan memperlemah jalannya pemerintahan Jokowi nantinya. Kebijakan-kebijakan penting, misalnya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bisa terganjal.
"Kalau sekedar checks and balances tidak ada masalah. Tapi yang dikhawatirkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Pak Jokowi terjegal di DPR. Misalnya rencana kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi," kata David Sumual, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
(hds/ang)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!