Picu Inflasi, Bawang Adalah Komoditas yang Tak Tergantikan

Jakarta - Kompleksitas permasalahan kenaikan harga bawang merah dan bawang putih terlihat semakin rumit. Dari Januari hingga Maret 2013, kenaikan harga bawang terus terjadi sampai akhirnya berdampak buruk pada inflasi.

Deputi bidang Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo menyatakan, bawang adalah jenis produk tanpa alternatif. Artinya berapapun harga bawang tetap akan dibeli karena kebutuhan.


"Jadi bawang itu berapapun harganya kita masih butuh, karena nggak makan kita kalau nggak ada bawang. Itu barang esensial bagi kita," ujar Sasmito saat ditemui di Gedung BPS, Jakarta, Senin (1/4/2013).


Daging sapi sebelumnya juga sempat mengalami hal yang sama, ada kenaikan harga yang cukup signifikan dan menganggu daya beli masyarakat. Namun, menurut Sasmito, daging sapi masih ada alternatif seperti ayam ataupun kambing.


"Sekarang kalau nggak ada bawang, nggak masak kan di rumah, tapi kalau nggak ada ayam bisa beli sapi, kambing, tapi kalau bawang merah dan bawang putih, kalau nggak ada kan gak bisa," sebutnya.


Demikian juga dengan buah-buahan seperti jeruk yang sempat mencatatkan kenaikan harga.


"Kalau buah, nggak jeruk kan bisa makan apel, pisang. Alternatifnya banyak, tapi kalau nggak ada bawang, mau pakai apa, kan nggak ada subtitusi. Kalau buah ada, daging. Bayangkan saja, kalau martabak nggak ada bawang bombay itu nggak mungkin kan," papar Sasmito.


Untuk Maret 2013, bawang merah memberikan andil inflasi 0,44% dan bawang putih sebesar 0,2%. Inipun menjadi andil terbesar dari total inflasi yang tercatat 0,63%.


Sasmito berharap, pemerintah dapat mengendalikan harga bawang. Misalnya dengan tingkatkan produktivitas dari petani. Meski berat, Sasmito masih melihat peluang deflasi April 2013.


"Sebenarnya petani, punya daya dorong untuk menanam bawang merah dan putih. kita lihat ke depan, suplai dalam negeri harusnya naik. itu kan tanaman musim, bisa tumbuh dengan cepat," pungkasnya.


(dnl/dnl)