Pemerintah Dinilai Terlambat Naikkan Harga BBM Subsidi

Jakarta - Pemerintah sudah dinilai terlambat dalam mengambil kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Akibatnya, jika kenaikan terjadi bulan Juni, maka penghematan hanya mencapai Rp 26 triliun. Namun, tetap habis karena anggaran kompensasi yang mesti dikeluarkan mencapai Rp 30 triliun.

"Kalau kenaikan dilakukan sekarang, penghematan itu hanya Rp 26 triliun. Sementara kompensasi itu sekarang sudah mencapai Rp 30 triliun. Jadi semacam nggak ada artinya. Karena itu kelambatan dari pemerintah," kata Ekonom Indef Fadhil Hasan dalam konferensi pers 'Tanggapan Indef atas RAPBN P 2013', di Apartemen Park Royal, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (10/6/2013)


Artinya, sangat bertolak belakang dengan keinginan pemerintah yang ingin menyehatkan fiskal secara keseluruhan. Dimana alasan APBN jebol selalu mendasari niat pemerintah untuk menaikan harga.


"Pemerintah seperti mengorbankan masyarakat dengan dalih kesehatan fiskal yang ternyata juga tidak benar, defisit juga malah membengkak," ujarnya.


Harusnya menurut Fadhil, kenaikan harga dilakukan dari awal tahun 2013. Dimana kala itu, pemerintah sudah diberikan kewenangan untuk menaikkan harga dari DPR RI. Kemudian secara stabilitas ekonomi, harga-harga barang bisa dikendalikan dan tidak terlalu membawa dampak buruk terhadap masyarakat.


"Awal tahun pun bisa dilakukan, kalau memang perlu persetujuan DPR, itu bisa dilakukan tanpa dalam APBN-P ini. Tapi karena tidak jelas dan tidak tegas itu kehilangan momentum. Jadi sekarang sudah kehilangan esensinya," ujar Fadil.


Ia merasa tidak heran, pada kesempatan pembahasan APBN-P ada pihak yang menyatakan penolakan. Apalagi ada unsur Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi yang dekat dengan kepentingan politik.


"Maka dari itu adanya keberatan beberapa pihak tehadap hal ini dan menduga kenaikan harga yang lebih pada dorongan yang sifatnya politis. Yaitu dengan menggelontorkan porgram-program kompensasi," ucapnya.


Selain penghematan yang tidak jelas, Fadhil juga menyinggung terkait kebijakan energi yang tidak menyeluruh. "Nah itu kan harusnya trigger dari kebijakan energi yang lebih menyeluruh. Seperti diversifikasi energi kan sekarang nggak ada lagi kabarnya. Banyak yang menjadi proyek yang terbengkalai," pungkasnya.


(dru/dru)