Utang Baru RI Rp 390 trilun, Pengamat: Pemerintah Sudah Kecanduan

Jakarta - Pemerintah tetap berencana menambah utang baru Rp 390 triliun untuk membiayai APBN tahun 2013. Padahal, posisi utang pemerintah saat ini telah mencapai Rp 2.032,72 triliun.

Direktur Indef Enny Sri Hartati menilai pemerintah sudah terlalu candu dalam menambah utang setiap tahunnya. Apalagi utang digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif, seperti pembiayaan subsidi BBM.


"Ada tradisi kecanduan utang semakin menggila dalam RAPBN P 2013. Utang baru dalam bentuk SBN Bruto saja mencapai Rp 341,7 triliun," kata Enny dalam konfrensi pers Tanggapan Indef atas RAPBN P 2013, di Apartemen Park Royal, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (10/6/2013)


Ia mengakui rasio utang Indonesia terhadap PDB telah menurun. Namun, tetap tidak menjadi jaminan kestabilan kedepannya. Utang yang terus bertambah akan menyebabkan instabilitas ekonomi yang dapat memicu krisis.


"Kita lihat dari pembayaran utang. Utang ini kan membutuhkan devisa untuk mengembalikan atau membayar bunga. Kalau ekspor kita tetap jeblok dan kebijakan pemerintah terus menambah utang, artinya akan terus tergerus kan devisa kita," jelasnya.


"Jadi bagaimana mungkin kita berhutang hanya habis untuk subsidi. Dulu kita punya konsep kalau hutang itu untuk hal-hal yang produktif atau proyek, sehingga bisa di refinancing. Ketika cuma subsidi, maka akan mengancam fiskal dampaknya," tegas Enny.


Tidak produktifnya penggunaan utang, menurut Enny juga terlihat pada belanja modal yang terus menurun pada APBN Perubahan 2013. Ini bertolak belakang, dengan pernyataan pemerintah yang sering menyuarakan soal stimulus fiskal.


"Belanja modal sebagai stimulus fiskal justru menurun dari 16% menjadi 15,7%," sebutnya.


Disamping itu, Enny melihat perekonomian global masih belum terlihat perbaikan. Sehingga ancaman untuk tekanan terhadap anggaran terus semakin terlihat.


"Utang bukan solusi yang populis untuk meredam tekanan fiskal saat ini. Justru utang berpotensi memperlebar tekanan fiskal dan mengurangi kredibilitas kebijakan pemerintah di mata publik," ucapnya.


(dru/dru)