Suara Hati Bos BUMN 'Si Unyil': Dari Kejayaan, Keterpurukan, Hingga Mimpi

Jakarta - Perum Produksi Film Negara (PFN) dikenal melalui film anak-anak legendaris Si Unyil. Tak hanya itu, banyak karya film dokumenter hingga layar lebar yang telah diproduksi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bermarkas di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur ini.

Pada masa keemasannya, PFN punya peralatan produksi film, bioskop, studio hingga karyawan yang mumpuni. Namun seiring berhentinya suntikan dana dari pemerintah tahun 1996, serta terjadi goncangan pada industri film saat itu, nasib PFN kian terpuruk.


Hingga kini akhirnya PFN berubah menjadi BUMN dhuafa berkinerja keuangan negatif dan tidak lagi beroperasi. Nama PFN sempat mencuat kembali ketika konflik dengan Pak Raden soal pembagian royalti Si Unyil.


detikFinance pun berkesempatan wawancarai dengan nahkoda baru PFN, Shelvy Arifin. Shelvy pun punya mimpi mengembalikan kejayaan PFN di industri film serta menyelesaikan persoalan yang ada. Berikut ini hasil petikan wawancaranya pada akhir pekan lalu:


Bisa diceritakan kondisi PFN saat masa keemasannya?

Aku cerita sejarahnya ya, PFN itu dulunya merupakan warisan Pemerintahan Belanda, kemudian dialihkan ke Pemerintah Jepang waktu itu kemudian saat Jepang itu kalah dan menyerahkan kemerdekaan maka kepemimpinan diambil alih oleh RM Suprapto.


Dia satu-satunya pegawai Indonesia saat itu. Kemudian kita berubah jadi kantor berita film, kegiatan kita dulu fokus terhadap produksi film negara. Jadi kegiatan kita banyak meliput kegiatan negara, jadi dulu ada Gelora Pembangunan.


Kemudian saya baru saja dari arsip nasional, hasil produksi dan liputan film PFN itu sudah kita serahkan ke Arsip Nasional. Waktu itu tahun 1984. Itu ada 46.000 film kalau nggak salah. Hasil produksi kita termasuk film-film unyil, kita serahkan kepada Arsip Nasional.


Pada saat itu kan PFN dibiayai oleh negara untuk dokumentasi negara jadi kita serahkan ke negara. Selain kita nggak punya fasilitas untuk menyimpan arsip yang baik dan benar tapi kita masih bisa mengakses film-film tersebut.


Waktu saya ke sana itu betu-betul harta karun. Jadi di sana itu saya melihat video liputan Presiden Soekarno keliling dunia. Ada liputan kunjungan Kim Il Sung, ada Presiden (Josip Broz) Tito. Kemudian ada banyak sekali liputan pemugaran Borobudur. Menurut saya itu harta karun sekali.


PFN saat itu benar-benar, satu unit usaha yang bagus punya akses langsung ke istana. Nah, karena itu waktu Pak Dahlan tanya, kamu mau apakn PFN. Saya sampaikan ke beliau, kita kembali ke fitrahnya saja bahwa core bisnisnya menjadi produksi film negara atau menghasilkan produk yang bentuknya visual tapi untuk mendokumentasikan film negara.


Nah, kita inginnya fokusnya diawali dengan pembangunan negara. Negara kita kan terus membangun terutama di infrastuktur. Jadi kebetulan yang berkarya itu perusahaan BUMN yang itu anak-anak bangsa dan perusahaan milik negara.


Jadi selama ini divisualkan tapi dalam bentuk video profile. Belum ada formatnya yang dokumenter jadi kami ingin kembali ke arah sana. Kemudian yang kedua kita pernah memproduksi Unyil. Unyil itu merupakan ikon yang sangat legendaris dan sangat dicintai banyak orang. Sampai sekarang masih dirindukan oleh beberapa orang termasuk saya sebagai generasi yang menikmati si unyil.


Kami sangat merindukan sebuah sosok karakter yang bisa seperti itu. Saya dulu merasakan hari minggu jam 8 sepi. Saya duduk manis menunggu film Si Unyil. Mungkin zamannya berbeda tapi saya pikir kalau nggak bagus nggak mungkin membekas segitunya.


Kami ingin menjadi juga bisnis kami sebagai lembaga atau perusahaan yang fokusnya memproduksi film-film baik animasi atau kayar lebar tapi film yang fokusnya lebih kepada anak-anak. Yakni membantu visi negara untuk menciptakan generasi yang berkarakter.


Jadi kita ingin fokusnya dari situ. Kami ingin berangkat dari unyil dan ingin membangkitkannya lagi. Entah Unyil atau karakter baru tapi kami berangkat dari sana. Menurut kami Unyil merupakan aset luar biasa yang bisa dikembangkan lagi.


Kalau kondisi saat ini bagaimana, tadi kan Anda bercerita masa kejayaannya?

Ketika saya menginjakkan kaki di sini tanggal 16 Juli. Saya nggak tahu apa-apa. Jadi saya sempat cari tahu sana-sini. Lewat Google dan lewat teman-teman. Kalau di Google beritanya mau dilikuidasi, dikubur, Pak Raden. Beritanya kayak gitu.


Mau cari website BUMN pun nggak ada apa-apa. Kalau nggak salah ada website-nya PFN. Terus dilihat sudah nggak aktif. Terus nggak ada. Terus saya berhasil menemukan saat itu yang akhirnya saya konfirmasi bahwa kita punya aset dua. Di sini (kantor pusat) 2,3 hektar dengan kondisi sudah dilihat.


Dulu pusat produksi memang di sini satu lagi di Jalan Tendean Nomor 41. Cuma di Jalan Tendean itu luasnya 1,4 hektar tapi agak bermasalah. Itu ada masalah gugatan dari ahli waris. Dari sejak dulu sampai sekarang belum bisa kita manfaatkan karena ada kasus yang terus menggerogoti. Energi cukup habis untuk di sana.


Kemudian kita punya utang Rp 11 miliar. Itu dibagi 3 lah, utang kepada pajak, utang kepada mitra, sama utang kepada direksi lama karena direksi lama gajinya cuma dibayar 60%. Jadi 40% harus dibayarkan jadi jumlahnya lumayan besar sehingga totalnya Rp 11 miliar itu.


Jadi kondisi bangunan seperti ini. SDM sementara semuanya PNS. Ada 88 orang tapi akhir tahun ini yang mau pensiun 20 orang jadi tinggal 66 orang. Usia yang paling muda itu 45 tahun. Sekaligus dia kameramen.


Dulunya dari 88 itu, dulu PFN ketika terpuruk, PFN itu dipecah dua. Ada yang isitilahnya direktur lama pernah mengelurkan keputusan menunggu pekerjaan. Jadi SK ini membagi dua kelompok karyawan.


Sebagian kerja di sini tapi menangani administrasi kepegawaian jadi mereka itu PNS Kominfo yang ditugaskan ke PFN. Jadi urusannnya sama Kominfo. Sisanya mereka dirumahkan untuk menunggu pekerjaan lah. Tapi mereka tetap digaji.


Nah, secara kompetensi terus terang kalau yang teknis saya belum melihat tapi soal administrasi sudah kelihatan. Selama di sini saya sudah baca beberapa teman-teman teknis saya sudah bisa melihat.


Saya kebetulan punya pengalaman, dulu pak Dahlan tahunya saya orang film. Saya tegaskan kalau saya bukan orang film. Tapi saya punya pengalaman memproduksi atau bekerja audio visual lah. Saya pernah berinteraksi dengan teman-teman produksi lah.


Memang agak jauh ya tapi teman-teman di sini yang saya liat adalah mereka memang punya kemampuan tapi tidak diperbaharui keahlian. Jadi referensinya masih yang dulu padahal referensi sekarang sudah berbeda.


Mungkin karena lama menganggur sehingga kreativitasnya sangat kurang. Banyak yang masih mau bekerja. Mereka itu rata-rata royal sama PFN. Mereka merasa PFN itu rumahnya mereka lah. Cintanya nggak diragukan. Secara kompetisi bagus cuma karena sudah lama jadi karatanlah.


Kan disebutkan jumlah pegawai tinggal 88 orang, sudah nggak ada recruitment karyawan sejak kapan?

Sudah lama sekali kalau nggak salah karena mereka PNS. Mereka itu mengikuti rekruitment PNS dan langsung ditempatkan di sini kalau nggak salah tahun 1980 atau 1990-an itu sekitar 20 tahun yang

lalu.


Tahun ini saja ada beberapa karyawan yang akan memperoleh penghargaan satya lencana setelah 20 tahun bekerja itu lama banget.


Kan sempat disinggung bahwa PFN terupuruk. Kalau itu sejak kapan?

Kalau dana APBN dihentikan tahun 1996. Kemudian industri film mulai kolaps. Kita terakhir diaudit tahun 2006. Di laporan audit kita ruginya sudah sangat luar biasa jadi mereka ada target tahunan tapi pokoknya biaya produksi lebih besar daripada harga jual. Itu tahun 2006. Itu mulainya tahun 1990-an menjelang tahun 2000-an.


Tadi disebutkan pula negara telah menghentikan suntikan dana. Itu dana untuk operasional bagaimana?

Kalau itu kita ngomongin revenue lah. Revenue saat ini dari sewa lahan sewa ruang sama sewa studio ada tiga. Kita punya empat studio tapi yang paling besar dan sering dipakai itu studio satu yang sedang dipakai MNC.


Terus kita beberapa ruangan. Bekas ruang edit, ruang animasi itu kita sewakan untuk beberapa kantor dan ada dua sekolah juga. Ada Sekolah Tinggi Teknologi sama Sekolah Tinggi Manajemen. Di sini persewaan murah jadi di sini untuk kantor yang baru mulailah.


Kemudian lahan parkir kita sewakan. Beberapa lahan selain studio sering dipakai untuk syuting. Di lantai 4 ada 2, gudang belakang. Menurut informasi biaya kita paling murah di Jakarta saat ini. Kalau produksi, sebelum saya menjabat belum ada. Terakhir itu produksi kalau nggak salah tahun 2007.


Katanya gedung pernah digunakan syuting uji nyali juga?

Katanya begitu tapi saya nggak tahu. Saya sudah bilang kalau ada lagi saya nggak mau karena mungkin kita punya banyak gedung yang terbengkalai.


Anda kan sudah mengetahui dan bercerita tentang kondisi PFN saat ini, nah strategi dan mimpi Anda untuk PFN ke depan seperti apa?

Kalau kita ke depan kendala terbesar saat ini di funding karena kita nggak punya modal. Kita punya cash tapi itu sangat minimal. Itu bisa jadi modal kerja tapi agak sulit. Antara pemasukan sama pengeluaran benar-benar impas.


Kalau ngomongin funding, dari SDM yang ada saat ini. Saya memang ketolong dengan APBN. Jadi saya nggak perlu pusing bayar Rp 5 miliar per tahun untuk bayar gaji karyawan ini. Tapi saya melihat kompetensi mereka saya juga kesulitan.


Saya agak susah menggeber mereka karena kompetensi mereka kurang jadi saya perlu menyewa tim baru. Namun saya belum bisa menyewa tim baru karena saya nggak tahu gajinya dari mana. Ini seperti buah silamakama tapi saya alhamdulillah punya network yang cukup baik. Beberapa teman siap membantu saya, membantu tanpa bayaran saat ini.


Kemudian bicara soal mimpi, mimpi saya PFN seperti saya bilang ke Pak Dahlan. Saya ingin membangun PFN kembali ke fitrahnya. Menjadi perusahaan produksi film negara yang kita fokus di film dokumenter dan memproduksi film negara.


Kenapa saya bilang begitu karena kalau saya harus bersaing dengan PH swasta saya nggak bisa untuk bersaing. Mereka sudah sangat menjamur dan biayanya pun low cost. Saya nggak sanggup. PFN itu sebagai kendaraan yang bisa membantu dunia perfilman dan industri kreatif untuk menjadi suatu saat Indonesia bisa selevel dengan Hollywood, Bollywood, ada Asia, Korea dan Jepang. Saya ingin setara dengan mereka lah.


Dari kualitas orang-orangnya mungkin hasilnya. Itu mimpinya. Kalau kita produksi film dokumenter kita ingin sama kualtitasnya dengan NGC. Itu mimpinya. Kalau animasinya untuk produk film anak-anak, yakni bentuk film animasi, layar lebar atau film anak-anak. Itu betul-betul punya kualitas dari segi cerita dan visual itu mimpi kami.


Kita suka nggak suka kita memang pelat merah. Kita harus punya idealismenya lah yang memang harus kita kawal. Kalau aset mimpinya menjadi sebuah tempat atau komplek terintegrasi untuk wadah atau menampung industri kreatif. Betuknya apa, nanti ya.


Apa pesan dari Pak Dahlan kepada Anda sehingga mau memimpin PFN?

Kalau Pak Dahlan cuma bilang jangan pernah berharap suntikan dana, kemudian kamu fokusnya di dokumenter dan kemudian program-program untuk anak. Beliau cuma bilang untuk itu. Beliau belangnya animasi untuk anak.


Yang menjadi pemacu saya ini benar-benar amanah untuk menjabat di sini. Saya selalu bilang sama tim. Kalau misal diminta memperbaiki sesuatu dikasih duit banyak terus sukses. Semua orang bisa. Tapi ketika dikasih sesuatu yang rusak kemudian menggunakan kreativitas kita, menggunakan networking kita sehingga berhasil. Itu merupakan sesuatu yang luar biasa dan amanah.


Itu tantangan yang membuat saya terpacu lah. Itu memang susah ya. Itu nggak ngampang juga. Yang membuat susah terlalu banyak koridor yang saya tidak bisa langgar dari sisi birokrasi dan peraturan. Itu membuat lebih sulit. Kalau perusahaan sendiri kita mau ngapa-ngapainnya gampang. Tapi ini kan perusahaan pemerintah. Yang pemegang sahamnya pemerintah. Ini ada koridor dan peraturan yang hati-hati.


Nama PFN muncul kembali ketika ada persoalan Pak Raden. Nah itu penyelesainnya bagaimana?

Pak Raden, aku cerita kronologisnya. Pak Raden itu, Unyil kan diproduksi tahun 1979. Saat itu unyil itu diproduksi atas ide dirut yang lama Pak Dipo (Dirut PFN saat itu). Pak Dipo waktu itu punya ide untuk bikin program anak-anak dengan karakter begini-begini. Sehingga dipanggil lah tim. Salah satunya adalah Pak Raden atau Pak Suyadi.


Saat itu proyek unyil itu dibiayai oleh APBN atau negara. Intinya itu proyek negara. Maka diproduksi lah unyil sampai 600 episode. Saat itu yang terlibat dalam tim itu Pak Dipo, kemudian yang mengerjakan bentuknya itu adalah Pak Raden.


Kemudian yang buat cerita itu Pak Kurnain almarhum. Waktu itu Pak Raden menyerahkan dan mendatangani MoU yang menyatakan karakternya kepada PFN. Sebenarnya PFN secara hukum hanya menjalani peraturan itu.


Kita dibiayai APBN ketika mendaftar HAKI. Itu atas nama PFN dan di dalam HAKI itu, Pak Yadi ditulis sebagai pencipta bonekanya. Cuma mungkin kemudian ke sini setelah ketika PFN menerima royalti Laptop Si Unyil dari Trans 7.


Mungkin nggak ada pembagian hak ekonomisnya kepada si pencipta. Mungkin itu titik awalnya jadi panjang tapi alhamdulillah setelah saya tiga hari menjabat. Kebutulan kita dibantu oleh Dirjen HAKI. Dirjen HAKI itu memfasilitasi antara PFN dan Pak Raden untuk ketemu dan duduk bareng ketemu.


Jalan tengahnya apa? Dirjen HAKI menyatakan namanya sang pencipta dijamin hak ekonomisnya. Itu harus dibagi lah. Saya waktu itu belum tahu apa terus ketemu Pak Yadi. Karena saya tumbuh besar dengan si unyil. Saya sampaikan kepada teman-teman dan Pak Yadi. Saya bilang kami PFN siap berbagi.


Ke depan apapun produksi terkait dengan si unyil, kami siap berbagi hak ekonomisnya dengan Pak Raden. Jumlahnya berapa nanti ditentukan kemudian. Dari pertemuan itu, dirjen HAKI sudah bantu bikin draft MoU. Status draft MoU dari kami sudah selesai.


Sudah kami sampaikan ke dirjen HAKI. Sekarang sudah diserahkan ke Pak Raden untuk direview. Kalau insya Allah Pak Raden setuju, masalah royalti selesai. Ini mungkin bisa jadi jalan tengah untuk kita berdua.


(feb/ang)


Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!