Namun Direktur Investasi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Wisnu Wijaya S. mengatakan di Gresik sudah tersedia kelengkapan teknis yang dapat menunjang kegiatan smelter. Kelengkapan teknis yang dimaksud, adalah keberadaan industri yang bisa mengolah produk sampingan hasil pemurnian di smelter.
"Dari pengolahan tembaga, gas sisa pengolahan itu bisa ditampung untuk bahan baku pupuk. Kemudian sisa endapan bisa untuk campuran semen. Jadi sudah benar itu Freeport pilih lokasi di dekat Petrokimia Gresik," katanya di Kantor BKPM, Jakarta, Selasa (10/2/2015).
Menurutnya dengan keberadaan kelengkapan ini, pembangunan smelter di Gresik dianggap lebih menarik dari segi bisnis sehingga lebih realistis untuk dikembangkan.
Ia berpendapat, smelter tidak bisa berdiri sendiri. Bila tidak ada industri yang mengolah produk sampingannya maka secara bisnis justru tidak menarik karena keuntungannya sangat minim.
"Smelter itu sangat minim marginnya kalau hanya mengolah dan memurnikan bahan tambang. Justru banyak smelter yang dibangun di luar negeri itu karena ada industri pengolahan yang mengolah produk sampingannya," katanya.
Selain itu, di Gresik telah dilengkapi dengan infrastruktur berupa jalan dan pelabuhan sehingga dapat memperlancar arus barang hasil pengolahan yang pada akhirnya bisa menekan biaya distribusi.
Menurutnya kondisi ini tidak ada di Papua. Ia justru mempertanyakan pihak-pihak yang keras mempertahankan argumen untuk memaksa PT Freeport Indonesia membangun smelternya di Papua.
"Jadi smelter itu nggak bisa berdiri sendiri. Kalau mau bikin smelter di Papua maka sebelumnya harus ada fasilitas jalan, pelabuhan dan pengolahan produk sampingan terlebih dahulu. Dan itu nggak bisa dibebankan seluruhnya ke mereka (Freeport)," kata Wisnu.
(dna/hen)
Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com