Bangun Listrik Panas Bumi Rp 6 T, Perusahaan Ini Terganjal Izin Kemenhut

Jakarta - Kementerian ESDM berharap Supreme Energy berhasil merampungkan proyek pembangkit listrik panas bumi (PLTP) meskipun belum mendapatkan izin pinjam hutan dari Kementerian Kehutanan.

Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM Tisnaldi berharap Supreme Energy diharapkan tetapbisa menyelesaikan proyek PLTP Rajabasa kapasitas 110 MW.


"Area PLTP Rajabasa seluas 19.520 hektar memang sebesar 5.189 hektarnya masuk dalam wilayah hutan lindung. Namun, Supreme Energy tetap bisa menggarap wilayah ini melalui pengajuan izin pinjam pakai hutan dari Kementerian Kehutanan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan," kata Tislandi ketika dihubungi wartawan, Senin (1/4/2013).


Memang diakuinya, hingga saat ini Supreme Energy belum mendapat izin dari Kementerian Kehutanan. "Padahal Supreme telah mengajukan izin sejak 2011 lalu dan mengantongi rekomendasi dari pemerintah daerah setempat," ucapnya.


Bahkan, Presiden Direktur PT Supreme Energy Supramu Santosa menyatakan, pihaknya telah memenuhi semua persyaratan teknis dan administrasi. Dia berharap izin pinjam pakai segera keluar sehingga bisa melakukan pemboran sumur eksplorasi perdana.


"Meskipun telah menyiapkan investasi untuk proyek tersebut, namun kegiatan eksplorasi pertama di WKP itu masih terkendala. Saat ini, kami masih menunggu keluarnya izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan," kata Supramu.


Hal ini berdampak pada jadwal operasi pembangkit panas bumi ini mundur menjadi 2017. Awalnya, Supreme merencanakan PLTP Rajabasa rampung pada 2016 menyusul ditekennya jaminan kelayakan usaha untuk PLN atas proyek tersebut diteken bersamaan dengan perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA).


Supreme juga telah mengeluarkan dana US$ 638 juta atau sekitar Rp 6 triliun untuk proyek ini. Rencananya, Supreme akan melakukan pemboran 4 hingga 5 sumur eksplorasi dan dilanjutkan dengan pemboran 20 sumur pengembangan. Kapasitas PLTP Rajabasa direncanakan mencapai 2 x 110 megawatt (MW) dengan harga listrik US$ 9,5 per kilowatt hour (kWh).


Menurut Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Poernomo, masalah PLTP Rajabasa ini terjadi akibat adanya UU 41/1999 yang menyebutkan kegiatan pertambangan tidak diizinkan berada di hutan lindung. Di sisi lain, UU Nomor 27 Tahun 2003 menyebutkan kegiatan panas bumi sebagai kegiatan pertambangan.


"Kementerian Energi dan Kementerian Kehutanan harus duduk bersama. Kalau tidak salah, pejabat eselon pertama dari kedua kementerian ini sudah bisa saling mengerti," tukasnya.


(rrd/dnl)