Rupiah vs IDR (1)

Jakarta - Sebagai Perencana Keuangan Independen alias Financial Planner/Financial Advisor sering ditanya dan dimintai pendapat tentang redenominasi, dan kali ini saya mencoba melihat kondisi redenominasi dari sudut pandang yang berbeda.

Mungkin beberapa di antara Anda sudah pernah baca ulasan saya tentang redenominasi baik di web detikFinance ini maupun di blog dan di beberapa media lainnya? Kalau belum pernah baca saya sarankan coba cari-cari dan dibuka lagi.


Sedikit saja kita ulas kembali di sini bahwa sebenarnya redenominasi adalah bentuk penyederhanaan penulisan mata uang kita dengan cara menghilang nol di belakangnya, dalam hal ini menghilangkan 3 nol.


Akibatnya adalah, uang Rp 100.000 kita nanti akan menjadi “hanya” Rp 100 saja, demikian juga uang Rp 1.000 kita nanti akan menjadi “hanya” Rp 1 saja, kecil sekali bukan? Masih berharga tidak? Don’t get me wrong, saya sangat mendukung redenominasi ini karena banyak hal positif yang bisa didapatkan oleh kita.


Akan tetapi, apabila redenominasi ini tidak dilakukan dengan hati-hati, cara yang benar dan sosialisasi yang baik, secara lama dan berkesinambungan maka yang terjadi justru bisa kontra produktif.


Di banyak negara lain, salah satu fungsi redenominasi adalah untuk menekan hyperinflasi. Akan tetapi dalam pelaksanaannya khususnya di beberapa tahun awal memang terjadi kenaikan harga atas barang-barang yang kemudian memicu inflasi dikarenakan oleh banyak sebab.


Seperti yang sudah pernah saya bahas sebelumnya, inflasi terjadi biasanya karena jumlah uang beredar yang meningkat. Tidak bisa dipungkiri pada saat redenominasi dan sosialisasinya dilakukan, pemerintah akan mengeluarkan mata uang baru (2 jenis mata uang) dengan bentuk yang sama, 1 dalam nominal yang lama dan 1 dalam nominal yang baru.


Hal ini dilakukan agar masyarakat familiar dengan nilai tukar tersebut. Nah, apabila jumlah kedua jenis mata uang yang beredar ini meningkat dan tidak bisa dikontrol dengan baik, bisa diduga maka inflasi bisa jadi terjadi.


Kondisi berikutnya yang mungkin saja bisa menyebabkan inflasi terjadi karena dilakukannya pembulatan ke atas pada barang yang dijual dengan menggunakan perhitungan mata uang yang baru. Sebagai contoh, sebuah barang yang dijual dengan harga lama misalnya Rp. 67,000,- maka harga barunya akan menjadi Rp 67.


Harap diingat, uang Rp 1 (satu rupiah) saat ini dipandang oleh masyarakat sangat kecil dan tidak berarti. Jangankan Rp 1 uang Rp 100 dan Rp 200 saja di banyak kota-kota besar sudah mulai dipandang sebelah mata oleh masyarakat, dianggap “kecil”.


Keengganan masyarakat untuk memegang uang pecahan kecil Rp 1 menyebabkan penjual bisa saja melakukan pembulatan keatas ke angka Rp 70 agar lebih mudah, dan hal ini menyebabkan harga barang naik yang ujung-ujungnya bisa saja inflasi.


Ini kalau dibulatkan hanya dari Rp 67 ke Rp 70, bagaimana kalau penjualnya membulatkan ke Rp 100 biar lebih muda. Otomatis hal ini menaikan harga jual barang tersebut dan efeknya memicu inflasi lebih besar lagi.


Belum lagi kita bicara apabila ada para oportunis, yaitu orang-orang yang mencari kesempatan dalam kesempitan, untuk menumpuk barang yang menyebabkan barang tersebut langka sehingga harga akan naik seperti kejadian kedelai dan bawang yang belum lama ini harganya naik gila-gilaan.


Apalagi kemudian masyarakat Indonesia mudah panik, terutama masyarakat di pedesaan. Hasil sensus BPS tahun 2010 menunjukan bahwa 50% dari 237 juta lebih masyarakat Indonesia masih tinggal di pedesaan yang sebagian sulit terjangkau informasi dan sosialisasi pemerintah.


Sehingga sosialisasi menjadi sangat penting, vital dan krusial di sini. Apalagi masih banyak masyarakat Indonesia yang belum lupa bahwa mata uang kita pernah sanering di tahun 60-an dan masih banyak yang trauma.


Dan, di antara semua resiko tersebut, resiko yang paling besar adalah “Kepanikan”. Kepanikan masyarakat khususnya di pedesaan dengan tingkat edukasi yang masih rendah tidak bisa memahami arti redenominasi yang disalah artikan dengan pemotongan nilai uang.


Lalu bagaimana usulannya? Kita akan bahas di tulisan berikutnya.


(ang/ang)