Meski Dikritik, BPH Migas Tetap Lanjutkan Program Pembatasan BBM

Jakarta -Kebijakan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menghapus bensin premium dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di rest area jalan tol dan penghapusan solar subsidi di SPBU Jakarta Pusat dikritik para pejabat negara. Namun, aturan tersebut dipastikan tetap berlaku.

"Tetap berlaku, tidak akan dicabut. Aturan tersebut berlaku sampai 31 Desember 2014," tegas Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng kepada detikFinance, Rabu (3/9/2014).


Namun, Andy menegaskan langkah yang ditempuh BPH Migas cukup berhasil. "Kalau kita diam saja tidak melakukan apa-apa, kuota BBM subsidi lebih cepat habisnya sebelum akhir tahun," tuturnya.


Sebelumnya, lembaga negara yang mengawasi pelayanan publik yaitu Ombudsman mengkritik kebijakan penghematan konsumsi BBM ala BPH Migas. Kebijakan ini dinilai meresahkan masyarakat dan berpotensi merugikan pelaku usaha.


Menurut Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana, teguran ini berpusat pada dua dari enam poin instruksi dalam Surat Edaran BPH Migas No 937/07/Ka BPH/2014 yang dinilai jauh dari prinsip persamaan perlakuan atau diskriminatif.


"Surat teguran dan saran perbaikan kebijakan ini ditujukan kepada Menteri ESDM, Dirut PT Pertamina (Persero), dan Kepala BPH Migas," jelas Danang dalam keterangannya.


Bambang Brodojonegoro, Wakil Menteri Keuangan, juga mengkritik kebijakan tersebut. Menurut dia, langkah tersebut tidak mampu menjaga konsumsi BBM bersubsidi yang tahun ini ditetapkan 46 juta kilo liter (KL).


"Memang cara yang ideal bukan pengendalian dengan cara itu (pelarangan di tol). Harus yang clear misalnya mobil pribadi nggak boleh itu kan jelas hitam putih. Kalau abu-abu begini potensi ramainya tinggi," katanya.


Bambang mengatakan, dirinya juga menyesalkan Kementerian ESDM tidak bisa menjaga kuota BBM subsidi tahun ini sebesar 46 juta KL tidak bisa dijaga, dan diperkirakan tetap akan jebol. Padahal saat pembahasan APBN Perubahan 2014, Kementerian ESDM ikut menetapkan kuota BBM subsidi diturunkan menjadi 46 juta KL.


"Waktu APBN-P, Pertamina dan Kementerian ESDM yang persentasi sendiri bahwa kebijakannya ini sehingga bisa 46 juta KL. Kenapa tahu-tahu bisa muncul 1,3 juta KL akan lewat?" tegas Bambang.


(rrd/hds)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!