Cegah Kerusakan Hutan, Dibutuhkan Tata Ruang yang Jelas

Kuta -Beberapa kalangan menganggap kerusakan hutan di Indonesia tidak semata-mata disebabkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. Kurangnya kejelasan tata ruang dianggap lebih mendesak untuk dibenahi ketimbang menyerang sawit.

Ketua Dewan Pakar PERSAKI (Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia), Petrus Gunarso mengatakan isu deforestasi kerap dialamatkan pada industri sawit. Padahal perkebunan sawit ditanam di luar kawasan hutan. Ia menduga, yang terjadi adalah planned deforestation.


Artinya, perkebunan sawit ditanam di wilayah yang secara tata ruang dialokasikan untuk APL (Alokasi Penggunaan Lain). Awalnya wilayah tersebut masih berhutan, lalu dibongkar untuk menanam sawit. Akhirnya muncul tuduhan, sawit merusak hutan.


"Deforestasi menjadi tidak jelas karena tata ruang belum selesai, sementara pembukaan lahan berjalan terus," kata Petrus dalam workshop jurnalis 'Perkebunan Sawit: Mengelola Bisnis dan Dampak Lingkungan', di Hotel Mercure, Kuta, Jumat (28/3/2013).


Hal yang sama juga dikeluhkan oleh para pengusaha sawit yang tergabung dalam GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia). Sekretaris Jendral GAPKI, Joko Supriyono mengatakan, kampanye negatif terhadap sawit antara lain disebabkan oleh tata ruang yang tidak jelas.


"Dorong supaya ada aturan tentang tata ruang. Supaya jelas di mana boleh tanam, dan di mana tidak boleh tanam," desaknya.


GAPKI mengklaim 40 persen luas hutan Indonesia adalah Hutan Lindung dan Hutan Konservasi dengan total luas sekitar 52 juta Ha. Karenanya, GAPKI juga menampik tudingan bahwa hutan primer di Indonesia hanya tersisa sedikit akibat penanaman sawit.


(up/ang)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!