Gara-Gara Kartel Impor Daging Sapi?

Jakarta - Harga daging sapi yang menjulang dan bertahan begitu lama telah membangkitkan kecurigaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi ini mewaspadai segala kemungkinan, termasuk soal adanya kemungkinan praktek kartel dalam bisnis impor daging sapi.

“Tim pengawas masih menyelidiki fenomena kenaikan harga beberapa bahan pangan termasuk daging sapi. Hingga saat ini belum sampai ke tahap kesimpulan,” kata Ahmad Junaidi, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Hukum KPPU, pada akhir pekan lalu.


Junaidi mengatakan, pihaknya belum bisa menyimpulkan apakah kenaikan harga itu disebabkan oleh mekanisme pasar atau lantaran adanya praktek kartel dalam perdagangan dan impor daging sapi. Tapi KPPU, kata dia, tetap mewaspadai potensi terjadinya kartel karena harga naik begitu cepat dan bertahan cukup lama.


Adapun pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, mengatakan tingginya harga daging sapi disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah kesalahan hitung pemerintah sehingga memangkas kuota impor padahal kebutuhan amat tinggi.


Pemerintah, kata Khudori, memproyeksikan produksi sapi mencapai 14,82 juta ekor sapi dengan asumsi pada saat ini ada 3 juta ekor sapi yang siap potong. “Padahal tidak seperti itu di lapangan,” tuturnya.


Khudori bilang, tak semua sapi yang disensus itu diusahakan oleh industri, melainkan oleh keluarga yang memelihara sapi dan menjadikan ternaknya sebagai tabungan. Sapi ternak itu hanya dijual saat ada keperluan yang amat mendesak. Bahkan, pada saat lebaran pun belum tentu mereka menjual ternaknya.


Selain itu, ada juga kendala distribusi lantaran tak ada infrastruktur distribusi khusus untuk menggerakkan sapi dari produsen ke konsumen, sehingga terjadi perbedaan harga yang cukup jauh. “Biaya angkut sapi dari NTT pun misalnya, jauh lebih mahal ketimbang biaya angkut daging impor dari Australia ke Jakarta,” kata Khudori.


Di sisi lain, kata Khudori lagi, pasar tak efisien dan tak mencerminkan persaingan yang sehat. Pembagian kuota impor dinilainya tak transparan yang menyebabkan terjadinya transaksi 'di bawah meja'. Tapi, apakah itu ujung-ujungnya menjadi praktek kartel? Dia bilang, meski kemungkinan ada, sulit dibuktikan.


Sementara pihak Kementerian Perdagangan mengatakan praktek kartel sangat minimal. Menurut Bachrul Chairi, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, perusahaan yang berbisnis daging sapi cukup banyak sehingga tidak bisa begitu saja mempermainkan harga.


Pada semester I tahun ini saja alokasi impor daging sapi diberikan kepada 58 perusahaan. Sementara pada semester II jatah impor diberikan kepada 52 perusahaan. “Jumlah pengusahanya cukup banyak, tidak dalam posisi oligopoli apalagi monopoli. Secara teori, minim ada peluang kartel untuk mempermainkan harga,” katanya.


Bachrul bilang, kenaikan harga lebih disebabkan minimnya pasokan. Meski begitu, dia mempersilakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk melakukan penyelidikan. “Kami tidak punya kompetensi untuk itu. KPPU yang punya kekuatan,” ujarnya.


(DES/DES)