Ini Alasan BI Rate Masih Bertahan di 7,5%

Jakarta -Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%. Adapun suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75%.

Apa alasan BI mematok suku bunga ini di level yang sama sejak November 2014?


"Kebijakan tersebut masih konsisten dengan upaya untuk mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4,5±1% pada 2014 dan 4,±1% pada 2015," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara di Gedung BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (13/3/2014).


Ia mengatakan BI Rate ini mampu mengendalikan defisit transaksi berjalan menurun ke tingkat yang lebih sehat. Perkembangan sejauh ini menunjukkan inflasi yang terkendali dan defisit transaksi berjalan yang menurun.


"Ke depan, Bank Indonesia tetap mencermati berbagai risiko, baik dari global maupun domestik, dan menempuh langkah-langkah antisipatif guna memastikan stabilitas ekonomi tetap terjaga dan mendorong perekonomian bergerak ke arah yang lebih seimbang sehingga dapat mendukung perbaikan kinerja transaksi berjalan," paparnya.


Dikatakan Tirta lebih jauh, BI akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, melanjutkan upaya pendalaman pasar keuangan, serta meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan, termasuk kebijakan untuk memperbaiki struktur perekonomian.


BI juga melihat pemulihan ekonomi dunia masih berlanjut, namun dengan akselerasi yang tidak sekuat perkiraan sebelumnya. Pemulihan terutama ditopang oleh perbaikan ekonomi negara maju, sejalan dengan masih berlanjutnya stimulus moneter dan menurunnya hambatan fiskal, sementara pertumbuhan ekonomi China belum kembali meningkat terkait dengan kebijakan rebalancing yang sedang ditempuh.


Perkembangan ini pada gilirannya menyebabkan kenaikan harga komoditas primer dunia masih terbatas.


"Bank Indonesia akan terus mencermati berbagai risiko dari perekonomian global, terutama terkait dengan normalisasi kebijakan moneter the Fed, kemungkinan pemulihan ekonomi global yang tidak sekuat perkiraan akibat perlambatan ekonomi China, dan kerentanan eksternal yang dapat muncul di beberapa negara emerging markets," terang Tirta.


(mkl/dru)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!